“Tuh ‘kan Si Manis tidak apa-apa,” kata Ayah seraya menuntun kuda kami berkeliling halaman. Aku tertawa.
“Tapi jangan dilepas pegangannya....”
Setelah beberapa putaran, Ayah memintaku untuk turun. Dan setelah pelananya dilepaskan, Si Manis dimasukkan ke dalam istalnya.
“Kalau kamu suka menungganginya, kamu harus mau dekat dengan Si Manis. Ikut memberi rumput, ikut memandikannya, maka Si Manis pun akan akrab denganmu,” pesan Ayah usai menutup pintu istal.
***
Sejak itu aku mengikuti pesan Ayah. Hampir setiap sore saat pengasuhku memberi makan rerumputan, aku pun ikut juga. Malah semakin lama aku jadi berani mengusap-usapnya. Mempermainkan bulu surainya yang lebat di lehernya. Dan Si Manis ternyata tidak galak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Meskipun mukanya tampak seram, tapi sorot matanya teduh manakala kudekati. Dan sejak itu pula aku jadi berani menungganginya sendiri, tanpa dituntun lagi oleh orang lain. Duh, bangganya. Apa lagi kalau teman-teman bermainku menontonnya. Mereka sampai saat itu belum seorang pun berani mendekati kuda kami itu.
Di saat aku duduk di kelas 4 sekolah dasar, aku sudah berani menggembalakan Si Manis di lapangan sepak bola di kampung kami yang jaraknya dari rumah sekitar 500 meteran. Untuk menuju ke lapangan itu aku menungganginya seperti seorang koboy. Orang-orang yang sedang berada di jalan begitu mendengar derap kaki kuda kami langsung meloncat ke tepi jalan. Sementara anak-anak sebayaku, atau yang lebih kecil, mereka berlari menjauh. Melihat hal seperti itu, aku semakin bersemangat memacu Si Manis agar berlari lebih kencang lagi.
Kegiatan menunggang Si Manis saat aku duduk di kelas 5 dilarang oleh Ayah. Karena kuda kami sedang hamil setelah sebelumnya dikawinkan dengan kuda milik teman Ayah yang tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi dari kuda kami. Kata Ayah ketika itu kuda jantan milik temannya itu adalah kuda ras impor Eropa. Sedangkan kuda kami meskipun tubuhnya lebih besar dari kuda kebanyakan, tetapi hanyalah kuda ras lokal. Ketika itu aku hanya diperbolehkan menggembalakannya saja, tanpa ditunggangi.
Satu tahun kemudian, Si Manis melahirkan anaknya yang berkelamin betina juga ternyata. Sama dengan induknya. Demikian juga warna bulunya sama hitam mengkilat. Wah, bisa tambah banyak kami memiliki kuda, pikirku ketika itu. Anak kuda itu tingkahnya lucu juga. Aku jadi lebih suka bermain dengannya. Sedangkan Si Manis lebih sering diurus oleh pengasuhku. Apalagi beberapa bulan kemudian pertumbuhan anaknya itu, yang kami namai Si Lilis, semakin besar saja, malah lebih besar dan tinggi dari induknya, maka aku semakin menyayanginya. Dan kepada Ayah kuminta kalau Si Lilis akan menjadi milikku.
“Asal dipelihara dengan baik saja,” pesan Ayah setelah mengiyakan permintaanku.
Di saat aku masuk SMA yang ada di kota kabupaten, terpaksa aku harus berpisah dengan kudaku. Paling dua minggu sekali, saat aku pulang ke rumah karena kehabisan sangu, aku dapat mengurus kudaku itu. Itu pun hanya satu hari saja.