Melihat tayangan televisi saat Presiden Jokowi berkunjung ke rumah Prabowo di Hambalang beberapa waktu lalu, dan usai berbincang kemudian kedua sosok yang pernah bersaing dalam Pilpres 9 Juli 2014 itu menunggangi kuda dengan akrabnya, muncul suatu ingatan lama di dalam benakku.
Dalam memori ingatan yang paling tua, ayahku mempunyai seekor kuda betina warna hitam, dan diberi nama Si Manis. Entah mengapa dinamakan begitu. Di mata seorang bocah ketika itu, bagiku yang namanya manis itu, ya gula. Sementara kuda betina milik ayahku kalau menyeringai sambil meringkik, begitu menakutkan. Selalu aku berlindung di balik tubuh pengasuhku, sekaligus orang yang saban hari menyabit rumput – untuk makanan kuda, tentu saja. Sedangkan pengasuhku itu bukannya melindungiku, bisa jadi hendak menggodaku, dia malah membopong tubuh kecilku yang kemudian disodorkan ke dekat istal (kandang kuda). Tentulah ketika itu aku meronta sambil menangis sejadi-jadinya.
Hanya saja seiring bergulirnya waktu, di saat aku memasuki sekolah dasar, ketakutanku terhadap Si Manis berubah drastis menjadi suatu yang menyenangkan. Betapa tidak, kalau tiba hari Minggu, setelah diberi makan Si Manis dipasangi pelana oleh ayah. Kemudian dikeluarkan dari istalnya dengan dituntun tali kendalinya. Di halaman rumah kami yang luasnya hampir sama dengan lapangan bola di kampung kami, ayah menunggangi Si Manis. Pada mulanya kuda itu berjalan pelan dengan membawa ayahku di punggungnya. Setelah beberapa putaran, ayah memukul leher Si Manis dengan cemeti, dan kuda betina itu pun melonjak, dan selanjutnya berlari dengan derap kakinya yang terdengar indah di telingaku.
Melihat Si Manis berlari dengan derap langkah yang berirama, sementara tubuh ayah di atas punggungnya melonjak-lonjak sembari tertawa ke arahku, seketika dadaku berdegup. Entah kenapa. Yang jelas ada rasa iri melihat ayah seperti begitu kegirangan dengan lagaknya yang bak koboy di bioskop itu. Aku ingin juga menunggangi Si Manis! Lalu kupamerkan pada teman-teman bermainku kalau aku sudah berani menunggangi kuda yang selama ini ditakuti oleh kami itu.
Tetapi di saat itu juga muncul rasa was-was, apa aku berani menungganginya. Jangan-jangan Si Manis akan menolak karena tak mengenalku. Lain halnya dengan Ayah yang hampir setiap kesempatan sering dekat dengan Si Manis. Selain sering ikut memberi makan untuk Si Manis bersama pengasuhku, oleh Ayah hampir setiap minggu kuda itu dimandikan di sungai dekat rumah kami. Setelah bersih, kemudian kuda itu dengan tali di lehernya ditambatkan pada patok bambu di tengah halaman rumah untuk dijemur suapaya cepat kering. Bila sudah kering, Si Manis dimasukkan ke dalam istalnya.
Lalu bulunya disikat memakai sisir yang terbuat dari kawat. Terkadang oleh pengasuhku bulu surai yang tumbuh lebat di sepanjang lehernya suka dijalin seperti rambut perempuan. Sementara aku sendiri hanya menyaksikannya dari kejauhan saat kuda kami sedang diurus oleh Ayah dan pengasuhku itu. Ketika itu aku sama sekali belum pernah berani dekat dengan Si Manis, apalagi memegangnya.
Suatu ketika, manakala Ayah sedang menunggangi Si Manis di halaman, dan aku melihatnya dengan mata berbinar, disertai hasrat untuk menungganginya juga, tentu saja, sepertinya Ayah melihat dan merasakan yang ada dalam diriku. Ayah melambatkan laju si Manis sambil mendekat ke arahku. Tangannya melambai, memintaku untuk mendekatinya.
“Mau menungganginya?” tanya Ayah sambil turun dari punggung Si Manis. aku mengangguk. Tapi seketika hatiku ciut. Apa lagi saat itu terbayang kalau seumpamanya aku sudah berada di punggungnya, si Manis melonjak lari, lalu meyepak-nyepakkan kaki belakangnya sambil meringkik. Dan, bum! Tubuh kecilku terlempar ke tanah. Rupanya Ayah melihat sikapku, lalu beliau berkata, “Kamu menungganginya, sementara tali kendalinya dipegang Ayah. Ayo! Anak lelaki jangan penakut seperti itu.”
“Tapi Si Manis akan baik-baik saja padaku, Yah?” tanyaku dengan was-was. Untung ketika itu tidak seorang pun tampak teman-teman bermainku.
“Tenang. Si Manis ‘kan dipegangi sama Ayah. Ke sini, Ayah naikkan,” kata Ayah sambil membopong tubuhku.
Seketika aku sudah duduk di atas pelana. Si Manis sama sekali tidak bertingkah seperti yang kuduga semula. Bisa jadi karena dipegangi Ayah.
“Tuh ‘kan Si Manis tidak apa-apa,” kata Ayah seraya menuntun kuda kami berkeliling halaman. Aku tertawa.
“Tapi jangan dilepas pegangannya....”
Setelah beberapa putaran, Ayah memintaku untuk turun. Dan setelah pelananya dilepaskan, Si Manis dimasukkan ke dalam istalnya.
“Kalau kamu suka menungganginya, kamu harus mau dekat dengan Si Manis. Ikut memberi rumput, ikut memandikannya, maka Si Manis pun akan akrab denganmu,” pesan Ayah usai menutup pintu istal.
***
Sejak itu aku mengikuti pesan Ayah. Hampir setiap sore saat pengasuhku memberi makan rerumputan, aku pun ikut juga. Malah semakin lama aku jadi berani mengusap-usapnya. Mempermainkan bulu surainya yang lebat di lehernya. Dan Si Manis ternyata tidak galak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Meskipun mukanya tampak seram, tapi sorot matanya teduh manakala kudekati. Dan sejak itu pula aku jadi berani menungganginya sendiri, tanpa dituntun lagi oleh orang lain. Duh, bangganya. Apa lagi kalau teman-teman bermainku menontonnya. Mereka sampai saat itu belum seorang pun berani mendekati kuda kami itu.
Di saat aku duduk di kelas 4 sekolah dasar, aku sudah berani menggembalakan Si Manis di lapangan sepak bola di kampung kami yang jaraknya dari rumah sekitar 500 meteran. Untuk menuju ke lapangan itu aku menungganginya seperti seorang koboy. Orang-orang yang sedang berada di jalan begitu mendengar derap kaki kuda kami langsung meloncat ke tepi jalan. Sementara anak-anak sebayaku, atau yang lebih kecil, mereka berlari menjauh. Melihat hal seperti itu, aku semakin bersemangat memacu Si Manis agar berlari lebih kencang lagi.
Kegiatan menunggang Si Manis saat aku duduk di kelas 5 dilarang oleh Ayah. Karena kuda kami sedang hamil setelah sebelumnya dikawinkan dengan kuda milik teman Ayah yang tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi dari kuda kami. Kata Ayah ketika itu kuda jantan milik temannya itu adalah kuda ras impor Eropa. Sedangkan kuda kami meskipun tubuhnya lebih besar dari kuda kebanyakan, tetapi hanyalah kuda ras lokal. Ketika itu aku hanya diperbolehkan menggembalakannya saja, tanpa ditunggangi.
Satu tahun kemudian, Si Manis melahirkan anaknya yang berkelamin betina juga ternyata. Sama dengan induknya. Demikian juga warna bulunya sama hitam mengkilat. Wah, bisa tambah banyak kami memiliki kuda, pikirku ketika itu. Anak kuda itu tingkahnya lucu juga. Aku jadi lebih suka bermain dengannya. Sedangkan Si Manis lebih sering diurus oleh pengasuhku. Apalagi beberapa bulan kemudian pertumbuhan anaknya itu, yang kami namai Si Lilis, semakin besar saja, malah lebih besar dan tinggi dari induknya, maka aku semakin menyayanginya. Dan kepada Ayah kuminta kalau Si Lilis akan menjadi milikku.
“Asal dipelihara dengan baik saja,” pesan Ayah setelah mengiyakan permintaanku.
Di saat aku masuk SMA yang ada di kota kabupaten, terpaksa aku harus berpisah dengan kudaku. Paling dua minggu sekali, saat aku pulang ke rumah karena kehabisan sangu, aku dapat mengurus kudaku itu. Itu pun hanya satu hari saja.
Sementara di sekolah aku melihat banyak temanku yang mengendarai sepeda motor. Seketika tebersit pikiranku seumpama Ayah membelikanku sepeda motor, aku tidak usah kost lagi. Jarak dari rumah ke sekolah hanya sekitar 20 kilometer. Mungkin dengan sepeda motor paling lama dapat ditempuh dalam waktu setengah jam. Apalagi kalau mengendarainya dengan kecepatan penuh bisa lebih kurang dari itu. Karena itu pula aku bisa kembali mengurus kuda kesayanganku. Selain itu, aku akan bisa membonceng gadis idamanku yang juga teman satu sekolah saban hari... Hehehe...
Kuutarakan keinginanku (tapi yang terakhir itu tidak kukatakan, tentu saja) kepada Ayah saat aku pulang, dan di saat waktu yang tepat. Maksudku saat melihat Ayah sedang duduk santai. Mendengar niat dan keinginanku, sesaat Ayah menatapku tajam. Tetapi tak lama tampaknya sorot matanya meredup.
“Tapi itu artinya Si Lilis pun tidak lagi kamu pelihara. Yang diurus tinggal Si Manis saja,” kata ayah.
“Maksud Ayah?”
“Kalau kamu ingin sepeda motor, apa boleh buat Si Lilis harus dijual.”
Apa boleh buat, pada akhirnya dorongan untuk memiliki sepeda motor, dan keinginan untuk bisa selalu dekat dengan gadis idaman ternyata lebih kuat daripada memelihara Si Lilis yang selama ini kusayangi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H