Senja mulai menorehkan warna keemasan di langit desa saat itu. Seakan-akan, langit itu melukiskan ketenangan yang telah datang setelah melewati hari yang begitu melelahkan kali ini. Abimanyu Bimantara kembali melangkah pulang, menuju rumahnya yang tak jauh dari sekolah tempat ia mengabdikan diri. Perlahan tapi pasti, ia berjalan layaknya pohon tua yang tetap tegak berdiri meski diterpa sekian banyaknya angin. Tubuhnya mungkin telah tergerus usia, namun semangat nya untuk tetap mengabdi kepada negeri masih sangat kokoh dan tak akan pernah tergerus gelombang waktu. Tas kulit lusuh yang tergantung di pundaknya, telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama mengabdi sebagai seorang guru yang tak kenal lelah berbagi ilmu dan mencerdaskan anak-anak desa.Â
    Abimanyu Bimantara, atau kerap dipanggil Pak Abi, memiliki pemikiran bahwa menjadi seorang guru itu bukan hanya tentang mengajari para anak didiknya, melainkan tentang membimbing, juga memberikan makna, dan berbagai harapan pada setiap anak didiknya. Pak Abi selalu merasa bahwa mengajar adalah panggilan jiwanya, bukan hanya sekadar pekerjaan belaka. Setiap hari, ia berusaha membentuk karakter mereka agar kelak mereka lebih siap dalam menghadapi kehidupan diluar sana.Â
    Meski begitu, putra satu-satunya, Madhava Pradipta, sering kali tidak mengerti alasan dibalik sang ayah yang lebih memilih jalan hidup yang demikian beratnya. Madha merasa bahwa profesi yang dipilih sang ayah ini terlalu berat untuk diemban, karena di desa tersebut hanya terdapat 3 guru saja yang dapat mengajar anak-anak desa. Akibat dari kurangnya tenaga kerja guru di desa tersebut, Madha akhirnya memiliki anggapan bahwa tanggung jawab ayahnya ini sangat berat untuk dijalankan.
    "Kenapa sih, Ayah memilih menjadi guru? Kenapa Ayah tidak memilih pekerjaan lain yang lebih baik dan lebih mudah? Setidaknya pekerjaan yang tidak seberat menjadi guru di desa ini!" tanya Madha kepada sang Ayah.Â
    Pak Abi hanya tersenyum mendengar beberapa pertanyaan yang sudah sekian kalinya ditanyakan oleh Madha.Â
    "Nak, menjadi guru itu bukan tentang mudah atau tidaknya pekerjaan tersebut, tetapi tentang apa yang bisa kita berikan melalui pekerjaan yang kita pilih tersebut. Ilmu itu berharga, dan tidak semua orang punya kesempatan untuk berbagi seperti yang Ayah lakukan." jawab Pak Abi kepada anak satu-satunya itu. Madha lagi-lagi, hanya dapat terdiam mendengar penjelasan dari ayahnya, masih sulit baginya untuk memahami alasan dari sang ayah.Â
    Seiring berjalannya waktu, umur Pak Abi kini tak lagi muda. Setiap mengajar, Pak Abi semakin merasa bahwa pekerjaannya ini semakin berat untuk dijalani, meskipun semangatnya masih tetap tinggi. Suatu hari, pak Abimanyu sedang duduk termenung di teras rumahnya. Pak Abi tahu betul bahwa waktunya untuk terus mengajar tidak akan lama lagi. Tiba-tiba ia terpikirkan mengenai siapa yang bisa menggantikannya untuk melanjutkan perjuangan mulianya ini.
    Pak Abi kini menatap Madhava yang saat ini sedang membaca buku di sudut salah satu bagian rumah. Putra semata wayangnya itu memiliki otak yang cemerlang, dan Pak Abi pun menaruh harap, bahwa suatu hari nanti Madhava bisa meneruskan jejak pengabdian mulia nya itu. Namun, ia tahu betul jika Madhava mempunyai mimpi dan ambisi yang berbeda dengan dirinya. Madhava sama sekali tidak memiliki pemikiran untuk menjadi seorang guru.
    Suatu malam, Pak Abi pun memulai percakapan yang telah lama ia dan Madha hindari. "Madha," panggilnya lembut. "Ayah tahu kamu memiliki mimpi yang besar, tapi... apa kamu pernah berpikir untuk menjadi seorang guru?"
    Madhava menoleh, kaget dengan pertanyaan dari ayahnya itu. "Maaf Ayah.. Madha tidak ingin menjadi seorang guru. Madha ingin mengejar mimpi Madha sendiri, ayah. Mungkin Madha bisa menjadi insinyur, atau bahkan bekerja di kota besar. Kenapa Ayah tiba-tiba berbicara soal ini?" jawab Madha dengan sedikit bingung.Â
    Pak Abi menarik napas panjang.Â
    "Ayah merasa.. tanggung jawab ayah dalam mendidik mereka sangatlah penting. Kalau Ayah sudah tidak bisa mengajar lagi, siapa yang akan melanjutkan pengabdian ayah? Pendidikan adalah satu-satunya cara agar mereka bisa mengubah nasib mereka sendiri di masa depan, Madha." ujar Sang Ayah.Â
    Madhava terdiam. Ia tahu betapa pentingnya pendidikan bagi ayahnya, tetapi ia merasa bahwa itu bukanlah jalan yang bisa ia pilih.
    "Ayah tidak ingin memaksa kamu, Madha," lanjut Pak Abi. "Tetapi.. Ayah berharap Madha bisa mengerti dari sudut pandang ayah. Mungkin kalau kamu ikut ke sekolah dan melihat sendiri, kamu akan mengerti." lanjut Pak Abi.Â
    Madhava masih tampak enggan, namun akhirnya ia setuju untuk ikut ke sekolah tempat ayahnya bekerja. Pikirnya, jika itu bisa membuat ayahnya lebih tenang, tak ada salahnya mencoba.
    Pagi itu, mereka berjalan bersama menuju ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Pak Abi menceritakan pengalamannya. Tentang anak-anak yang dulunya tidak bisa membaca, lalu kini mereka telah berhasil menjadi orang yang sukses. Tentang senyum lebar di wajah para murid setiap kali mereka mempelajari hal-hal baru, juga tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa mengubah hidup seseorang.
    Sesampainya di sekolah, Madhava terkejut dengan sambutan hangat dari para murid ayahnya. Para murid sangat menghormati Pak Abi. Tak lama, Pak Abi pun memperkenalkan Madhava kepada murid-muridnya. Mereka semua langsung berkerumun dengan antusias tinggi, sebab ingin mengenal lebih jauh mengenai Madhava, anak dari guru yang sangat mereka hormati.Â
    Beberapa jam telah berlalu, Madhava kini tengah duduk di belakang kelas sembari mengamati ayahnya yang sedang mengajar. Cara Pak Abi berinteraksi dengan murid-muridnya membuat Madhava sangat terkesima. Setiap murid diperlakukan dengan penuh perhatian. Setiap harinya, Pak Abi tidak hanya mengajarkan pelajaran, tetapi juga membentuk karakter mereka, menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan juga memotivasi mereka untuk terus giat tekun dalam belajar.
    Saat jam istirahat, salah satu murid menghampiri Madhava.Â
    "Kak, apa nanti Kakak mau menjadi guru juga, seperti Ayah Kakak?" tanya seorang murid dengan berbinar.Â
    Madhava terkejut dengan pertanyaan dari salah seorang murid tersebut. Ia bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tatapan penuh harap dari mata anak itu, hati Madhava menjadi agak tergugah untuk melanjutkan pengabdian ayahnya. Namun, saat ini ambisinya masih kuat. Ia tidak bisa begitu saja mengubah pemikirannya.
    Sepulang dari sekolah, Pak Abi tidak banyak berbicara mengenai kelanjutan perbincangan kemarin. Ia tahu betul, jika keputusan ini ada di tangan Madhava. Namun, sebagai seorang ayah, ia tetap berharap jika anaknya ini bisa melihat apa yang selama ini dia rasakan.
    Hari demi hari berlalu, Madhava masih saja merenungkan pengalamannya di sekolah pada saat itu. Melihat senyuman hangat dari murid-murid, ketekunan dan juga kegigihan yang luar biasa dari para murid ketika menuntut ilmu, membuat hati Madhava tergerak untuk melanjutkan pengabdian dari sang ayah. Di satu sisi, ia ingin mengejar ambisinya, tapi di sisi lain, ia mulai melihat betapa pentingnya peran sang ayah dalam membentuk masa depan anak-anak di desa.
    Suatu malam, ketika Pak Abi sedang duduk di ruang tamu, Madhava mendekati sang ayah.Â
    "Ayah," panggilnya pelan.
    Pak Abi menoleh, lalu menunggu putranya untuk mulai berbicara.
    "Madha tidak yakin apakah Madha bisa menjadi guru seperti ayah. Tetapi, setelah melihat semuanya.. Madha lebih mengerti tentang betapa pentingnya pekerjaan Ayah disini. Madha mungkin tidak akan menjadi guru seperti ayah, tetapi Madha berjanji, akan selalu mendukung pendidikan di desa ini, meski dengan cara Madha sendiri."
    Pak Abi pun tersenyum. Meski Madhava tidak memilih jalan yang sama seperti dirinya, ia merasa lega bahwa putranya memahami nilai dari pengabdian yang telah Pak Abi lakukan selama ini. Dan bagi Pak Abi, itu sudah lebih dari cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H