Mohon tunggu...
Arry Azhar
Arry Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Arry Azhar merupakan seorang yang hobi belajar. Baginya belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan penuh dengan pengalaman serta nilai nilai kehidupan yang didapatkan. Melalui kompasiana, ia mencoba belajar menjadi penulis. Arry Azhar memiliki hoby membaca, mendengarkan musik, menulis, menonton film dan Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung Bagian 2 : Langit Kelabu di Ujung Senja

3 Februari 2025   17:47 Diperbarui: 3 Februari 2025   17:47 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kegelapan dan kehampaan (Sumber: Foto Pribadi)

Hujan turun semakin deras. Damar tergeletak di trotoar yang dingin, tubuhnya menggigil hebat. Napasnya terputus-putus, kelopak matanya bergetar, tetapi ia tidak mampu membuka mata. Di kepalanya, sosok ibunya terus melayang, tersenyum lembut seperti dulu.

"Bu... tunggu aku..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun.

Di kejauhan, suara langkah kaki mendekat. Bayangan seseorang berhenti tepat di depan tubuh kecil yang terbaring lemah. Hening sesaat, sebelum suara berat seorang pria paruh baya terdengar, "Anak ini... masih hidup?"

Orang itu berjongkok, menempelkan tangannya ke leher Damar, mencari denyut nadi yang semakin melemah. Tatapannya penuh iba. Ia menoleh ke arah seorang wanita yang berdiri di sampingnya, memegang payung yang hampir terjatuh dari genggamannya.

"Kita harus menolongnya," kata wanita itu dengan suara gemetar.

Pria itu mengangguk, lalu tanpa ragu mengangkat tubuh Damar yang dingin dan basah kuyup. Anak itu ringan, terlalu ringan, seolah tak ada daging di tubuhnya. Wanita itu membuka pintu mobil mereka, dan dalam sekejap, Damar telah dibaringkan di dalamnya.

Sepanjang perjalanan, tubuh Damar tetap diam. Napasnya sesekali terdengar, tetapi sangat lemah. Wanita itu menggenggam tangannya yang dingin, merasakan betapa rapuhnya anak itu.

Setibanya di rumah sakit, dokter segera berlari mendekat, memeriksa tubuhnya. Damar langsung dibawa ke dalam ruang gawat darurat, meninggalkan pasangan suami istri itu di luar dengan hati yang berdebar.

Wanita itu menatap suaminya, matanya berkaca-kaca. "Dia masih kecil, bagaimana mungkin dunia sekejam ini padanya?"

Pria itu menghela napas panjang. "Kita lihat apakah Tuhan masih memberi kesempatan padanya..."

Di dalam ruangan putih yang dingin, Damar masih tertidur lemah. Infus telah terpasang di lengannya, tubuhnya dibungkus selimut hangat. Namun, di balik kelopak matanya yang tertutup, ia kembali melihat sosok ibunya.

Sari berdiri di hadapannya, senyum lembut masih menghiasi wajahnya. "Damar... jangan menyerah, Nak," katanya, suaranya bergema seperti angin lembut yang menyentuh hati.

"Tapi, Bu... Damar lelah..."

Sari menggeleng, mendekat, menyentuh pipi anaknya yang basah oleh air mata. "Kamu masih punya kehidupan yang harus dijalani. Ada alasan kenapa Tuhan membiarkanmu bertahan sampai saat ini..."

Damar ingin meraih ibunya, tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa ditarik mundur. Sosok ibunya menjauh, memudar dalam cahaya putih yang semakin terang.

"Ibu..."

Perlahan, kelopak matanya bergerak. Napasnya kembali terdengar, sedikit lebih stabil. Dalam redupnya cahaya ruang rumah sakit, mata Damar terbuka perlahan.

Apakah ini masih dunia? Ataukah ia telah kembali ke pelukan ibunya...?

Damar membuka matanya perlahan, tapi cahaya lampu di langit-langit ruangan terasa menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Ada bau obat-obatan yang menusuk hidungnya. Suara alat medis berbunyi pelan di sampingnya, membuat kepalanya berdenyut.

"Di... mana aku?" suaranya parau, nyaris tak keluar dari bibir yang pecah-pecah.

Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi ada sesuatu yang menusuk lengannya---jarum infus yang tertancap di kulitnya yang tipis. Detik itu juga, rasa takut merayap ke seluruh tubuhnya.

Apakah ia masih hidup?

Namun, pikirannya kacau. Bayangan terakhir yang ia ingat adalah hujan deras, tubuhnya yang membeku, dan ibunya yang muncul di tengah kegelapan. Tapi sekarang, ia ada di tempat asing, dengan suara mesin berbunyi seperti dentang kematian yang menunggu giliran.

Damar ingin bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia menyadari bahwa ia sendirian. Tidak ada ibunya. Tidak ada siapa pun.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Derapannya teratur, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Suara itu semakin mendekat, dan jantung Damar berdegup semakin kencang.

Siapa itu?

Pintu terbuka perlahan, engselnya berderit lirih seperti jeritan tertahan. Bayangan seseorang masuk ke dalam ruangan, siluetnya samar di bawah lampu redup. Damar menelan ludah, ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa tercekat.

Sosok itu berdiri di ambang pintu, diam tanpa suara. Damar bisa merasakan keberadaannya, tetapi wajahnya tertutup bayangan.

Tubuhnya gemetar. Ia ingin bergerak, ingin bersembunyi, tetapi tubuhnya masih terjebak dalam kelemahan.

"Damar..."

Suara itu terdengar aneh. Dalam, serak, dan hampir tidak seperti suara manusia.

Damar membeku. Jantungnya berdebar begitu kencang, seolah akan meledak. Ia ingin menjerit, tetapi sesuatu dalam dirinya menahan.

Apakah ini nyata? Ataukah ia masih terperangkap dalam batas tipis antara hidup dan mati...?

Damar ingin menjawab pertanyaan perawat itu, ingin mengatakan sesuatu, tetapi dadanya tiba-tiba terasa berat. Napasnya mulai tersengal, seolah udara di dalam ruangan mendadak menghilang.

Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi sesuatu menekan dadanya. Ketat. Dingin. Menyesakkan.

Damar mencengkeram selimut dengan jemari gemetar. Paru-parunya terasa seolah diremas oleh tangan tak terlihat, memaksanya berjuang hanya untuk menarik satu hembusan napas kecil.

"Ukh... ukh..." Damar terbatuk keras, tenggorokannya kering seperti dipenuhi debu. Ia ingin berteriak, meminta tolong, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah suara serak yang nyaris tak terdengar.

Perawat itu melangkah cepat ke arahnya. "Damar! Tenang, Nak! Coba tarik napas pelan..." katanya panik, tangannya buru-buru mengecek selang infus yang terhubung ke tubuh Damar.

Namun, Damar tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kepalanya mulai berdengung. Pandangannya kabur, dunia seakan berguncang hebat. Bayangan di sudut ruangan masih ada di sana---tetap diam, tetap mengawasinya.

Semakin Damar berjuang untuk bernapas, semakin kuat tekanan di dadanya. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang, tapi di saat yang sama, tubuhnya mulai terasa mati rasa.

Ini bukan asma. Ini bukan penyakit. Ini sesuatu yang lain...

Damar mencakar dadanya sendiri, mencoba melepaskan cengkeraman tak kasat mata yang menghimpitnya. Matanya membelalak, melihat langit-langit ruangan yang perlahan berubah... gelap... semakin gelap...

Lalu, ia melihatnya.

Sosok itu.

Kini, lebih dekat dari sebelumnya. Berdiri tepat di sisi ranjangnya.

Damar ingin menjerit, tetapi udara dalam paru-parunya sudah benar-benar habis. Pandangannya semakin menyempit. Bayangan sosok itu semakin besar.

Apakah ini akhir?

Dalam kepanikan terakhirnya, sebelum dunia benar-benar gelap, Damar mendengar bisikan pelan di telinganya.

"Kamu milikku..."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun