Di dalam ruangan putih yang dingin, Damar masih tertidur lemah. Infus telah terpasang di lengannya, tubuhnya dibungkus selimut hangat. Namun, di balik kelopak matanya yang tertutup, ia kembali melihat sosok ibunya.
Sari berdiri di hadapannya, senyum lembut masih menghiasi wajahnya. "Damar... jangan menyerah, Nak," katanya, suaranya bergema seperti angin lembut yang menyentuh hati.
"Tapi, Bu... Damar lelah..."
Sari menggeleng, mendekat, menyentuh pipi anaknya yang basah oleh air mata. "Kamu masih punya kehidupan yang harus dijalani. Ada alasan kenapa Tuhan membiarkanmu bertahan sampai saat ini..."
Damar ingin meraih ibunya, tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa ditarik mundur. Sosok ibunya menjauh, memudar dalam cahaya putih yang semakin terang.
"Ibu..."
Perlahan, kelopak matanya bergerak. Napasnya kembali terdengar, sedikit lebih stabil. Dalam redupnya cahaya ruang rumah sakit, mata Damar terbuka perlahan.
Apakah ini masih dunia? Ataukah ia telah kembali ke pelukan ibunya...?
Damar membuka matanya perlahan, tapi cahaya lampu di langit-langit ruangan terasa menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Ada bau obat-obatan yang menusuk hidungnya. Suara alat medis berbunyi pelan di sampingnya, membuat kepalanya berdenyut.
"Di... mana aku?" suaranya parau, nyaris tak keluar dari bibir yang pecah-pecah.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi ada sesuatu yang menusuk lengannya---jarum infus yang tertancap di kulitnya yang tipis. Detik itu juga, rasa takut merayap ke seluruh tubuhnya.