Tapi tak lama setelah ketenarannya meroket, wajah Raka mulai sering tersembunyi di balik rumput-rumput yang tinggi di sebuah taman. Taman padang hijau milik sebuah rumah sakit itu menemani Raka selama pemulihan pasca rehabilitasi tulang kakinya. Hijauan yang rindang di taman itu menjadi hunian baru bagi Raka. Panorama di sana memang menyegarkan tiap mata yang memandang hingga membuat seseorang di sana akan lebih mudah pulih dari rasa sakit yang dialaminya. Seiap hari Raka terlihat berjemur dan bermandi cahaya di antara semak yang tertata rapi di taman itu. Tubuhnya selalu terduduk di kursi roda di lingkungan rumah sakit berbulan-bulan lamanya.
Keberadaan Raka di rumah sakit memang terbilang cukup lama hingga membuatnya akrab dengan beberapa dokter dan perawat. Raka terkenal ramah, mudah beradaptasi dan sangat kooperatif selama menjalani perawatan. Raka bisa menikmati hari-harinya selama masa rehabilitasi berlangsung. Karena itulah perlahan Raka memiliki kecintaan yang mendalam pada Mutiara Health Center, rumah sakit itu.
Dokter Ananta, adalah wanita terhebat kedua bagi Raka setelah ibunya. Dialah dokter yang menangani kasus Raka. Dokter Ananta sangat cantik dan cerdas. Dia juga ramah dan baik hati. Dia tak hanya mendampingi Raka secara fisik melalui kehadirannya, tapi juga secara spirit melalui doa-doa yang dia panjatkan.
Raka yang memiliki keterbatasan mengungkap kata-kata dari perasaannya pun diam-diam bisa menitikkan air mata untuk ketulusan dokter Ananta saat menangangi kasusnya. Hampir seluruh energi dokter Ananta tercurah untuk Raka. Bahkan Raka tak pernah melihat dokter Ananta menangani pasien lain.
Bertahun-tahun kemudian kehidupan Raka kian membaik. Tak pernah ada yang menyangka kalau Raka yang tampak gagah itu pernah menjalani transplantasi tulang yang remuk pasca kecelakanan. Setelah kesehatannya kembali pulih, dia hidup normal seperti orang lain pada umumnya. Dia berkeluarga, memiliki istri yang cantik, satu anak kandung dan satu anak tiri dari istri dengan suami pertamanya.
Suatu hari Raka menemukan tumpukan dokumen di kamar kerja istrinya. Dibukanya dokumen itu dan dibacanya dengan seksama. Raka sangat antusias akan isi dokumen ketika melihat lembar-lembar awal dokumen itu menyebut namanya. Dibukanya dokumen-dokumen itu, terus dan terus. Dokumen-dokumen itu sangat banyak dan tersusun rapi pada beberapa amplop. Sementara amplop-amplop itu tampak sengaja dikumpulkan manyatu dalam sebuah bilik loker.
Raka diam terpaku. Walau dia tak bisa berucap tapi batinnya bisa meronta. Pedihnya tak terelak. Dokumen itu penyebabnya. Bertahun-tahun istri yang dia cintai ternyata menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang menyangkut nyawa dan kehidupannya. …
-**-
Ponselku bergetar. Aku melirik sebentar dan memandang sekilas layar ponsel. Itu suamiku, pasti akan menanyakan terapi terakhirku. Saat yang sama dokter Ananta menghampiriku. Tanpa ada yang ditutup-tutupi dia tampak riang bukan main. Aku menekan tombol “reject” dan menolak panggilan suamiku untuk menyambut dokter Ananta.
“Bagaimana? Sudah latihan pernafasan?” tanyanya padaku.
Aku hanya tersenyum padanya sembari melempar sedikit anggukan. Dokter Ananta melanjutkan mendorong kursi rodaku menuju pingiran hutan pinus. Setiap hari dia memang membawaku ke sana kecuali hari Minggu, aku hanya ditemani seorang perawat. Oleh dokter Ananta aku diwajibkan melatih pernafasanku hampir 30 menit sehari sebelum lewat pukul 8 pagi di depan pinus-pinus itu. Sama seperti pagi ini. Dan itulah saat-saat pertemuanku dengan dokter Ananta setiap pagi selama terapi asma ini berlangsung.