Tujuh hari kematian Surti, warga desa digemparkan berita adanya roh gentayangan. Menampakkan diri di pohon beringin besar saat tengah malam. Dekat kuburan Surti dan Gibran.
Menurut kabar, sosok berambut terjurai. Wajah dan tangan pucat seputih kapas. Matanya merah darah dan bibir pucat menghitam. Selalu menangis pilu saat duduk di depan nisan Gibran sembari kembali menaburkan bunga-bunga kering yang masih tersisa.
Jam sepuluh malam, Bu Broto dan Hendra sedang duduk santai di beranda rumah. Membaca majalah “Panjebar Semangat” sembari menikmati sajian kopi jahe dan pisang goreng hangat buatan Mpok Inah.
“Bu, sudah dengar kabar?”
“Kabar apa, anak gantengku?”
Hendra tidak segera menjawab. Memandangi foto mendiang Pak Broto di dinding yang seakan menatap tajam ke arahnya.
“Roh Surti gentayangan.”
Bu Broto menghentikan membaca majalah dan melepaskan kacamata.
“Kabar dari siapa?”
“Warga desa.”
“Walaaah! orang-orang kurang kerjaan. Dari zaman Majapahit senengannya menggunjing yang tidak masuk akal!. Dasar orang-orang kurang berpendidikan!”
Ketus Bu Broto menimpali pernyataan Hendra. Kembali memasang kacamata dan membaca majalah kesukaannya.
Hendra hanya diam. Menyeruput kopi jahe yang tinggal sedikit.
***
Waktu beranjak semakin malam dan gelap. Sedikitpun tidak tampak sinar rembulan. Hanya sebagian sinar titik-titik bintang berusaha mengintip dari celah-celah gulungan awan hitam.
Jam dinding berdentang dua belas kali. Suasana ruang beranda telah sepi. Hanya tinggal Pak Amin, centeng satu-satunya keluarga Bu Broto.
Tiba-tiba angin berhembus halus. Membawa rasa dingin hingga menusuk tulang-belulang penyangga badan.
Lolongan anjing-anjing hutan di kejauhan seakan memberi tanda akan datangnya keganjilan-keganjilan alam.
Suara burung hantu yang panjang dan serak, sesekali terdengar. Mengikuti liukan dan tarian dedaunan yang bergerak lamban.
Bau wangi bunga melati tiba-tiba menebar dan suara-suara cicak terdengar riuh bersahutan. Memecah kegelapan dari berbagai arah.
Pak Amin masih menikmati sedotan rokok linting tembakau kesturi. Belum menyadari kemunculan makhluk ganjil yang sudah berdiri. Tepat di depannya.
“Ya ampunnn… Kau siapa, hah?!”
Pak Amin dibuat begitu kaget oleh makhluk di depannya. Sosok perempuan semampai bergaun serba putih. Rambutnya terjurai menutupi wajahnya yang terlihat menunduk.
“Aku, Surti!”
Singkat sosok perempuan menjawab. Lantas menyingkap rambutnya dan menatap tajam Pak Amin.
Mengetahui wajah di depannya, Pak Amin langsung berlari. Memanjat dan melompati pagar cukup tinggi yang mengelilingi rumah Bu Broto.
***
Di kamar utama, Bu Broto belum tertidur. Menghadap arah selatan. Matanya terpejam melukis kenangan saat bersama Pak Broto. Suami ketiga, sang juragan kopi yag telah menghadirkan Hendra, putra satu-satunya yang paling disayangi.
Bu Broto beralih menghadap utara. Tangannya mengelus bantal di sebelahnya, seakan Pak Broto hadir memberi senyum terindah.
Tetapi, keganjilan sangat dirasakan. Elusan di tangannya terasa bukan bantal, melainkan rambut yang panjang. Terjurai.
Saat itu juga, reflek Bu Broto segera bangun dan berdiri di sisi ranjang.
“Siapa kau, hah?!”
Telunjuk Bu Broto mengarah tegang ke sosok rambut panjang terjurai yang seakan tidur pulas.
Sosok segera duduk. Rambutnya dikibas dan memandang tajam Bu Broto.
“Aku, kenapa?!”
“Perempuan laknat. Setan! Beraninya masuk dan tidur di kamarku!”
“Aku memang setan. Haus darah dan ingin memakan jantungmu. Saat ini juga!”
“Dasar perempuan tak tahu diri. Ke luar!”
Suasana hening. Roh Surti bergerak cepat mengambil tombak kebanggaan Pak Broto. Penghias kamar utama.
Secepat kilat sosok Surti melesat ke arah Bu Broto. Menusuk bawah jantung Bu Broto dan menancapkan tubuh berisi itu di pintu kayu jati yang tebal.
Bu Broto merasakan sakit luar biasa di bawah jantungnya. Keringat hangat mulai bercucuran dan darah menetes dari gagang tombak.
Sambil menahan rasa sakit, Bu Broto menatap tajam sosok Surti.
“Matipun aku rela. Asal kau dapat kubunuh demi anakku. Perempuan setan!”
Mata Surti memerah darah. Tanpa kata lagi, tangannya menembus kulit Bu Broto dan mencabut jantungnya dengan kasar.
“Arghhhhh!”
Suara Bu Broto memekik kesakitan. Memecah malam nan penuh keganjilan.
***
Hendra mendadak terbangun. Teriakan Bu Broto yang keras betul-betul mengagetkannya. Lantas bergegas ke kamar ibunya.
Kamar Bu Broto terbuka lebar. Tepat di depan Hendra, tubuh Bu Broto tertancap mata tombak di pintu kayu jati. Darah berceceran di mana-mana. Sedangkan jantung Bu Broto, lenyap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H