Tujuh hari kematian Surti, warga desa digemparkan berita adanya roh gentayangan. Menampakkan diri di pohon beringin besar saat tengah malam. Dekat kuburan Surti dan Gibran.
Menurut kabar, sosok berambut terjurai. Wajah dan tangan pucat seputih kapas. Matanya merah darah dan bibir pucat menghitam. Selalu menangis pilu saat duduk di depan nisan Gibran sembari kembali menaburkan bunga-bunga kering yang masih tersisa.
Jam sepuluh malam, Bu Broto dan Hendra sedang duduk santai di beranda rumah. Membaca majalah “Panjebar Semangat” sembari menikmati sajian kopi jahe dan pisang goreng hangat buatan Mpok Inah.
“Bu, sudah dengar kabar?”
“Kabar apa, anak gantengku?”
Hendra tidak segera menjawab. Memandangi foto mendiang Pak Broto di dinding yang seakan menatap tajam ke arahnya.
“Roh Surti gentayangan.”
Bu Broto menghentikan membaca majalah dan melepaskan kacamata.
“Kabar dari siapa?”
“Warga desa.”