Angin semilir dari timur meninggalkan keanehan di pos ronda Gang Sapi. Gang legendaris di Kota Djakartah.
Terasa sejuk. Bahkan sangat sejuk. Membuat si meong jantan berbulu kembang telon tertidur sangat pulas.
Si Jijay berusaha menggoda si meong. Di tarik-tariknya ekor kucing jantan milik Haut. Namun, si meong seakan tak terganggu. Lelap dibuai angin semilir nan sejuk.
Sangking kesalnya, Jijay menarik kencang telinga si meong ke atas. Alhasil, meong berteriak keras,"Waoooo!".
"Teruskan! Tarik terus telinga kucingku. Awas, kalau sampai putus!" Bentak Haut yang tiba-tiba muncul di belakang Jijay.
Jijay kaget. Gelagapan. Rasanya ingin marah, tetapi segera diurungkan. Percuma ngadepin Haut. Pastinya, Jijay kalah segalanya.
Lantas, Jijay hanya bisa cengar-cengir. Meskipun hatinya cukup dongkol dengan cara Haut membentak seenak udelnya.
Seakan tak pernah berbuat dosa pada si meong, Jijay bersandar santai di pembatas pos ronda. Menghadap arah barat dan membiarkan punggungnya menikmati tiupan angin sepoi-sepoi nan sejuk.
***
Ardni muncul dari arah timur. Lengkap dengan pakaian kebesaran sepeda gunung. Langsung nyeples pundak Jijay.
"Udah tadi nongkrongnya, Jay?"
"Udah."
"Engkong mana?"
"Biasa."
"Minggu gini masih meras susu sapi jantannya?"
"Ya, iyalah."
"Hebat! Tiada hari tanpa meras susu, hehehehahaha..."
Tawa Ardni menggelitik telinga Jijay. Tajam menusuk gendang telinga. Bahkan merasuk ke hati paling dalam. Memantik dan membakar ketenangan murid satu-satunya kesayangan si Engkong.
"Sial betul aku dan Engkong pagi ini. Dikagetin Haut dan diketawain Ardni." Gerutu Jijay dalam hati dalam kalimat cukup panjang.
Jijay kemudian melirik sesuatu yang nyantol di paku tiang pos ronda pojok barat belakang. Sesuatu yang dua hari ini dikenalnya. Sesuatu yang membuat Jijay tersenyum-senyum sendiri.
***
Pandangan Ardni seketika terpancing lirikan Jijay.
"Eh, ada blangkon." Spontan Ardni berujar.
Jijay diam tidak menanggapi. Membuat Ardni mengernyitkan alis yang masih betah bersembunyi di balik kacamata polarized.
"Punyamu, Haut?"
"Bukan."
"Jay. Blangkon itu punyamu?"
"Bukan."
Ardni segera turun dari sadel sepeda. Bergegas menyambar blangkon. Membolak-balik dan menerawang bentuk blangkon.
"Kalau menilik bentuknya. Blangkon ini jenis apa?" Tanya Ardni pada Jijay.
"Jogja."
"Masih kurang tepat, Jay."
Haut yang sudah mendekat di depan Ardni, tiba-tiba menyambar Blangkon.
"Jenis senopaten. Memiliki sintingan yang terpisah dengan badan blangkon, sehingga tampak seperti sayap burung yang sedang dikepakkan." Terang Haut. Tegas dan jelas.
***
Ardni dan Jijay terdiam. Mengagumi jawaban Haut. Sosok penyair kawakan kebanggaan Gang Sapi ini memang luas pengetahuannya.
Hanya Engkong yang mampu menandingi dan mengalahkan luasnya samudra pengetahuan si Haut.
"Hebat kau, Haut. Tahu segala." Kata Ardni. Lantas mengambil kembali dengan sigap blangkon di tangan Haut.
Tanpa sengaja, Ardni memanfaatkan blangkon sebagai kipas alami dekat ke wajahnya. Sangat dekat. Mungkin sangking gerahnya setelah cukup lama bersepeda.
Tiba-tiba Ardni mengernyitkan dahinya.
"Bau blangkon ini sepertinya khas banget!" Kata Ardni.
"Bau apaan?" Tanya Haut penasaran.
Ardni tidak segera menjawab. Diliriknya Jijay yang mesam-mesem.
"Semprul!" Gerutu Ardni ditujukan ke Jijay meskipun sekedar di dalam hati.
"Bau apaan, sih?" Kembali Haut bertanya. Menegaskan.
"Susu sapi jantan." Jawab Ardni kecut. Lantas segera melempar blangkon ke Jijay.
Haut tertawa ngakak. Dia tahu sudah, siapa pemilik blangkon yang mendekam di pos ronda. Blangkon si Engkong!. Â Â
Jijay tidak kalah ngakak. Sampai nungging menahan perutnya yang langsung mules.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H