Gara-gara "Puisi Anarkis" Kolaborasi Kenthir Kompasianer, matahari yang tiba-tiba ngantuk berat di siang bolong, nggak jadi tiduran.
Alhasil, hawa panas kembali menguar. Menelusup ke dalam celah kandang Gang Sapi. Satu-satunya gang kontemplatif. Tempat Engkong menanak inspirasi. Mengadu nasib pada aksara-aksara bisu.
Ditemani segelas air mata sapi jantan yang selalu diperas susunya oleh Engkong, sifat kenthir Engkong kembali menggulma di jagat WAG Kompasianer yang sedang ngopi bareng.
Jadilah hawa panas menyusup di telinga-telinga Kompasianer. Saling mengompori untuk memulai kolaborasi. Mencipta kembali puisi.
Mbak Aliz rupanya paling tidak tahan untuk merayu, meskipun sebenarnya sifatnya jauh dari pilu hati, apalagi rawan hati.
"Ada kenangan, tenggelam dalam secangkir rindu, memunguti serpihan-serpihan hati, masih menggelegak dalam hening waktu".
Lahir dengan tiba-tiba. Tanpa diduga menghadirkan sketsa rindu. Mengais ceruk-ceruk rindu yang telah tanggal dalam sepotong kenangan.
Karya kolaborasi, memang butuh mak comblang. Tetapi, kadang susah untuk bisa merangkai karya dalam satu bingkai utuh.
Kendala yang sering muncul adanya keluhan-keluhan. Belum ada inspirasi, terlalu berat menggali dan menangkap gagasan, juga berbagai alasan kesibukan klasik seperti sibuk memeras susu sapi jantan yang tak masuk akal.
"Dulu. Hanya kata dulu yang selalu mengiringi hati di ruang tunggu yang kusebut rindu".