Melihat sungai, membangkitkan kembali ingatan saat masa anak-anak. Masa yang menghabiskan waktu dengan lebih banyak bermain. Tentu sungai menjadi salah satu tempat  bermain yang mengasyikkan.
Zaman dulu belum ada kolam renang di Glenmore-Banyuwangi. Sungai menjadi tempat alami kami belajar berenang meskipun arusnya agak deras.
Pertama kali melihat aliran sungai besar, rasa takut pasti ada. Tetapi, begitu melihat liukan air bening saat badan terasa gerah setelah bermain, godaan untuk segera menceburkan diri tak bisa dibendung lagi.
Segera kami melepas pakaian dan byurrr!... langsung nyemplung. Benar saja, bening dan segarnya air membuat tubuh terasa bugar. Hilang lelah dan gerah.
Sungai Takir cukup lebar dan deras di daerah kami. Airnya yang segar dan bening tak pernah surut. Menjadi tempat orang-orang dan anak-anak untuk mandi dan mencuci saat musim kemarau panjang.
Berenang menantang arus dan menghanyutkan badan di pangkuan liukan arus air sungai yang cukup deras, sungguh mengasyikkan. Apalagi diselingi bermain siram-siraman air sungai yang melimpah, sungguh lebih asyik, persis seperti cuplikan film jadul.
Berenang menantang arus dan menghanyutkan badan di deras sungai belum cukup memuaskan. Kami menyusuri alur sungai, mencari tempat yang cukup lebar dan dalam atau biasa disebut kedung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kedung sebagai lubuk, yaitu bagian yang dalam di sungai. Â Â
Ada beberapa kedung di Sungai Takir. Kedung sebelah utara menuju Desa Krikilan kami anggap yang paling tepat untuk tempat bermain dan berenang.
Kedung ini memiliki padas ( lapisan tanah yang keras) di sisi timur dengan letak lebih tinggi dari bibir sungai. Sangat cocok untuk tempat salto (gerakan jungkir balik di udara tanpa menyentuh tanah-KBBI).
Masih sebelah timur sungai, ada tebing rimbun cukup curam, mampu mematahkan pancaran sinar matahari secara langsung yang cukup panas menjelang siang. Di kaki tebing, meliuk-liuk jalan setapak dengan bunga aneka warna yang indah hampir sepanjang jalan.
Di ujung kedung arah timur laut, ada mata air dengan pancuran bambu yang cukup deras. Airnya, sangat bening dan menyegarkan. Bahkan bisa langsung diminum.
Nah, untuk menambah dalam dan deras air lebih tenang, kami membendung hilir kedung dengan tumpukan bebatuan. Jadilah kedung semacam kolam alami buatan jahil anak-anak negeri. Hebat khan? Hehe...
Bersalto Ria
Mempertimbangkan letak kedung cukup sepi, kami datang dengan rombongan. Minimal 5 anak kala waktu masih siang selepas pulang sekolah. Jika hari libur, bisa sampai 20 anak, ramai banget dan heboh jadinya.
Sesampai di kedung, dengan bertelanjang bulat khas anak desa, mulailah pertunjukan salto dipertontonkan. Riuh dan sangat menyenangkan.
Salto di air apalagi menginjak padas, butuh cara cepat dan tepat. Jangan lupa ambil ancang-ancang (langkah akan melompat), saat kaki menginjak padas lontarkan tubuh lebih tinggi dan lempar ke tengah sungai dengan posisi salto (gerakan jungkir balik di udara tanpa menyentuh tanah).
Ingat, jangan ragu agar kepala tidak membentur padas. Jikapun saat tubuh mencebur sungai air masuk ke hidung, jangan kapok (jera) karena butuh perjuangan agar terbiasa menghadapi tantangan. Pada akhirnya, terbiasa dan pengalaman mampu menahan air tidak masuk hidung saat bersalto ria. Â
Begitulah, kami bersalto ria sepuasnya di kedung Sungai Takir. Menikmati karunia alam dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Diterjang Ular Berjanggut Putih
Bagi orang yang belum pernah mengalami, mungkin kenangan ini dianggap fiksi. Mengada-ada.
Saat penulis masih anak-anak senang mancing di sungai, main dan mengejar layangan putus hingga ke  pekarangan orang, sawah, dan tegalan.
Maklumlah zaman dulu dan hidup di desa. Nggak mungkinlah main dan mengejar layangan putus hingga terminal, bandara, apalagi pelabuhan. Hehehe...
Saat mancing dan main layangan sering ketemu ular. Ada ular hijau, ular piton sawah sebesar paha orang dewasa, ular kobra, sampai ular weling dan welang. Nah, aneh-aneh khan namanya?... Â
Di antara kenangan bertemu bermacam ular, pertemuan dengan ular berjenggot putih yang paling berkesan dan sampai kini membekas kuat di ingatan.
Begini kisahnya, suatu hari saat sore di bulan Ramadan, kami menuju kedung Sungai Takir. Seperti biasa, berenang dan salto cukup lama kami lakukan sembari ngabuburit.
Setelah matahari agak condong ke Barat, kami berniat pulang, saat itulah kami diserang ular yang cukup panjang. Ular ini meluncur deras dari atas tebing kedung Sungai Takir dan menerjang ke arah kami.
Untungnya terjangan ular dapat dihindari. Ular kami bunuh dengan lemparan batu bertubi-tubi.
Ular yang kami bunuh bentuknya aneh. Panjang sekitar lima meter tetapi badannya tidak seberapa gemuk seperti ular pithon. Lebih miris lagi, ular ini berjanggut putih dan mampu menatap tajam dengan melingkarkan tubuhnya.
Menurut kakek, kami sangat beruntung, sebab yang kami hadapi adalah ular lajing. Terjangan ular lajing dapat menembus tubuh mangsanya.
Masih menurut kakek, dahulu ular ini biasanya ditemukan di hutan. Menggantung di dahan pohon yang tinggi untuk dapat dengan cepat meluncur dan menembus tubuh mangsanya.
Itulah seputar kenangan Sungai Takir di masa kami masih anak-anak. Kenangan yang tak akan terlupa selama hayat dikandung badan.
Salam sehat dan tetap jaga keselamatan bersama.
 Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI