Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rona Merah Pipi Chintya

9 Desember 2020   09:26 Diperbarui: 9 Desember 2020   20:58 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi persahabatan dua anak. Sumber: Pexels. Pixabay.com

Siang yang panas usai dentang jam pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ramai kendaraan lalu lalang. Bahkan kadang merayap dan macet.

Chintya segera merapat ke punggung Mamanya yang sedang menyetir sepeda motor. Namun hawa panas masih terasa menyengat tubuh Chintya. Sepanas hati Chintya yang sedang gundah.

Meskipun diterpa panas menyengat, sampai juga Chintya dan Mamanya di rumah. Setelah membuka pagar dan pintu rumah, bergegas Chintya dan Mamanya menuju ruang tengah.

”Ayo… sayang! Cuci tangan dan segera makan siang” Ajak Mama Chintya.

”Malas Ma…, gak nafsu makan” Jawab Chintya sambil menghempaskan tubuhnya di kasur depan televisi. Mama Chintya agak heran dengan sikap Chintya dan segera menghampiri. Dilihatnya pipi Chintya merah merona.

”Kenapa cantik? Pipinya kok seperti terbakar? Ada masalah ya?”

”Tidak ada Ma. Lagi malas saja”

”Ya sudah…, ayo sana mandi dulu. Sebentar lagi Papa pulang” Pinta Mama Chintya sambil mencium pipi Chintya. Mendapat ciuman Mamanya yang lembut, hati Chintya tak lagi panas. Bergegas Chintya ke kamar mandi.

****

Selesai mandi dilihatnya Mama dan Papa Chintya sedang makan. Chintya segera duduk di samping Mamanya.

”Ma… Pa..., boleh Chintya menyampaikan sesuatu?” Pinta Chintya sambil melirik Papanya. Papa Chintya tidak menjawab, tetapi memberi isyarat dengan kedipan matanya.

”Emmm… dua minggu ini sebetulnya Chintya kesal sama anak baru”

”Lho… memangnya kenapa sayang? Seharusnya bersyukur dan senang punya teman baru”

”Tidaklah Ma. Teman aku itu sering dipuji sama Bapak dan Ibu Guru”

”Kalau sering dipuji, tentu ada sebabnya khan sayang...?”

”Iya… sih. Dia itu pintar Ma..., bahkan kata teman-teman, bahasa Inggrisnya lebih pintar dari Tya”

”Oh begitu. Terus …?”    

”Khan bahaya Ma. Tya punya saingan berat tuh nantinya. Bisa-bisa Tya digeser jadi juara kelas” Jawab Chintya cemberut.

Papa dan Mama Chintya tersenyum. Mereka saling lirik. Kali ini Papa bicara.

”Jangan punya pikiran jelek. Nanti kecantikan Tya bisa berkurang”

”Ah... Papa. Mana mungkin orang yang sudah cantik bisa berkurang hanya dengan punya perasaan curiga sama teman?”

”Eit…!. Ukuran kecantikan seseorang bukan hanya dilihat dari penampilan wajah, sayang…., tapi juga dari tutur kata dan tingkah laku yang baik pada orang lain. Termasuk menilai baik seseorang. Apalagi teman yang baru dikenal. Iya khan Ma?” Tanya Papa sambil mengedipkan mata sebelah kiri ke Mama. 

”Betul Tya. Seharusnya Tya berteman baik dengan siapapun tanpa menilai kelebihan dan kekurangannya. Apalagi teman yang pintar. Khan bisa untuk teman diskusi dan tukar pengetahuan” Jawab Mama Tya sambil membelai rambut Tya nan lembut. Chintya merenungkan nasihat Papa dan Mamanya. Dia segera menyadari sikap dan pikirannya yang keliru.

Tak terasa jam dinding menunjukkan pukul satu siang kurang lima belas menit.

”Ma..., Papa harus segera ke kantor” Jawab Papa sambil mencium kening Mama dan Chintya.

”Oh ya... Pa. Nanti sore, Mama ada janji sama teman, namanya Winda. Orangnya pintar Bahasa Inggris dan rendah hati. Mama ingin belajar lebih banyak Bahasa Inggris lagi. Boleh Pa...?”

”Boleh Ma..., hati-hati di jalan ya...” jawab Papa. Mama Chintya terlihat senang.

****

Sore yang cerah. Chintya dan Mamanya segera berangkat ke rumah teman Mama Chintya. Di tengah perjalanan, mereka singgah di Swalayan. Membeli oleh-oleh dan seragam Pramuka seukuran Chintya. Kata Mama Chintya, seragam Pramuka itu akan diberikan ke adik Tante Winda.

Tak lama kemudian sampailah Chintya dan Mamanya di rumah Tante Winda. Seseorang segera menyambut. Orangnya masih muda dan sederhana, namun terlihat cantik.

Sekilas Chintya seakan sudah mengenal Tante Winda. Mama Chintya terlihat bercakap-cakap menggunakan Bahasa Inggris dengan Tante Winda. Chintya merasa bangga dengan Mamanya. Bahasa Inggris Mama Chintya sudah lancar, namun masih mau belajar lebih banyak lagi Bahasa Inggris dengan orang lain. Di rumah, Mama Chintya adalah guru terbaik Bahasa Inggris bagi Chintya.

Tante Winda kemudian mempersilahkan duduk,”Maaf..., rumah kami begini adanya, kurang terawat sejak orang tua kami meninggal. Maklum, saya hanya tinggal berdua dengan adik perempuan satu-satunya. Panggilannya Tiwi”

Chintya ingat cerita Mamanya sebelum berangkat tadi. Kata Mama, kedua orang tua Tante Winda meninggal akibat kecelakaan saat berlibur ke Bali dua tahun yang lalu. Sungguh kasihan Tante Winda dan Tiwi, masih muda sudah ditinggal kedua orang tuanya.  

”Can you speak English?” Tanya Tante Winda ke Chintya.

”Yes, I can. But just a little” Jawab Chintya singkat dan bersemangat.

“Very good. Kenalan sama adik Tante ya..., bahasa Inggrisnya lumayan. Sejak kecil kami dibiasakan berbahasa Inggris oleh Papa kami. Papa kami dulu Dosen di Sastra Inggris”.

Segera Tante Winda ke belakang memanggil adiknya. Sesaat kemudian muncul gadis seumur Chintya. Mata Chintya terbelalak melihat sosok gadis di depannya.

****

“Sisca!” Tanpa sadar Chintya menyapa gadis yang sebaya dengan umurnya. Mama Chintya dan Tante Winda saling pandang keheranan. Namun mereka segera menyadari bahwa antara Chintya dan Sisca sebenarnya sudah saling kenal.

”Ma..., Sisca ini yang Chintya bicarakan sama Mama dan Papa tadi siang. Tapi...?! Kenapa Tante Winda menyebut nama Sisca dengan Tiwi?” Tanya Chintya.

Tante Winda tersenyum dan menjawab,”Sebetulnya nama lengkap adik Tante, Sisca Pertiwi. Di sekolah biasa dipanggil Sisca. Sedangkan di lingkungan rumah, orang-orang biasa memanggil Tiwi”

Chintya dan Mamanya barulah memahami. Mama Chintya segera menyuruh Chintya memberikan oleh-oleh dan baju seragam Pramuka yang baru dibeli di Swalayan kepada Sisca. Dengan senang hati Chintya memberikan ke Sisca. Dengan malu-malu Sisca menerima pemberian Chintya.

”Sisca. Saya minta maaf. Selama ini saya menilai keliru dirimu. Maukah Sisca mulai sekarang dan seterusnya menjadi sahabat Chintya?”

Sisca segera mengangguk dan berkata,”Terima kasih Chintya. Semoga pertemuan ini menjadi awal yang baik untuk persahabatan kita”

Akhirnya Chintya dan Sisca saling berpelukan. Mama Chintya dan Tante Winda turut gembira. Sejak saat itu, Chintya dan Sisca bersahabat. Tidak ada lagi rasa persaingan di antara mereka. Jika mereka bertemu, selalu menggunakan Bahasa Inggris.

Persabahatan Chintya dan Sisca menjadi contoh teman yang lain. Saling bekerjasama dalam kegiatan sekolah. Bersama mewujudkan cita-cita yang kelak akan mereka raih.                       

Pengarang: Arif Rohman Saleh, S. Pd

Probolinggo, 09 Desember 2020.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun