“Di Indonesia, setiap kebijakan yang kurang populer dan tidak segera dieksekusi,
ujung-ujungnya pimpinan tertinggi yang disorot,
maka anginpun semakin kencang bertiup”
Pendapat di atas hanyalah pendapat pribadi penulis. Entah kalau memang banyak yang meng-iya-kan. Berarti pendapat di atas memang umum terjadi di negara yang kaya segalanya ini. Sesuai pula dengan peribahasa "Semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang angin menerpanya", yang diartikan "semakin tinggi derajat atau kedudukan seseorang, semakin besar tantangan dan rintangan yang akan dihadapinya”.
Mas Nadiem, Sosok Sentral di Kemendikbud
Akhir-akhir ini yang disorot tajam berbagai media dan “cubitan pendapat” adalah langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam menerapkan “Belajar Dari Rumah” dan “Bekerja Dari Rumah”. Singkatan BBDR (Belajar dan Bekerja Dari Rumah), lebih tepat digunakan untuk kebijakan pembelajaran di Kemendikbud pada masa pandemi korona. BBDR terkait dengan siswa dan guru sebagai subyek proses pembelajaran. Sekali lagi siswa dan guru sebagai subyek, bukan obyek.
Mengesankan sebagai sorotan, sosok “Mas Nadiem” sapaan akrab Menteri termuda ini begitu sentral. Kebijakan apapun dan info dari Kemendikbud bisa dipastikan arahnya ke Mas Nadiem. Apalagi jika berbumbu “kontroversi” ala pengamat dan netizen, akan langsung dikunyah asalnya, pasti dari Mas Nadiem.
Sosok Mas Nadiem memang lekat dengan perubahan. Sejak menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”. Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Program “Merdeka Belajar” langsung hangat dan cenderung memanas ditanggapi berbagai kalangan. Pro dan kontra mengiringi perubahan mendasar khususnya tentang rencana penghapusan UN dan PPDB Zonasi. Sedangkan USBN dan “Selembar RPP” merupakan ranah sekolah dan guru yang memang sudah lama diharapkan dapat memangkas sistem yang ada.
Pandemi Korona dan Tantangan Pendidikan Jarak Jauh
Masih hangat di ingatan kita. Betapa cara hidup berubah drastis dengan adanya pandemi korona. Pembelajaran yang semula tatap muka, dihentikan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Guru bekerja dari rumah, muridpun belajar dari rumah. Hingga istilah Work From Home (WFH) dan Study From Home (SFH) begitu bersahabat di telinga.
Lingkungan sekolah berubah sepi, serupa sepinya kuburan. Tidak ada lagi riuh suara anak-anak. Tidak ada lagi aktivitas olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler. Semua dihentikan demi mengutamakan keselamatan, terhindar dari paparan virus korona yang mematikan.
Rumah difungsikan sebagai tempat belajar dan bekerja jarak jauh. Jelas memberikan nuansa baru dan memang harus menyesuaikan dengan “pola hidup kebaruan”. Apapun tantangan dan hambatannya, rumah dan penghuninya wajib mengkondisikan dengan tuntutan yang ada.
Demikian pula dengan Kemendikbud, di bawah nakhoda Mas Nadiem, tidak tinggal diam. Bergerak cepat untuk merespon keadaan, berupa apa? Kebijakan yang jelas dan terarah. Mampu dibaca dan dieksekusi baik secara vertikal maupun horizontal. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud merupakan pijakan bagi stakeholder untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Tentu dengan memperhatikan kondisi dan mempertimbangkan kemampuan yang ada.
Langkah Kemendikbud atau bisa lebih populer pada sosok Mas Nadiem sudah memperkirakan dan memberi solusi tantangan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) ke depan. Tantangan yang paling nyata berkaitan dengan sarana dan prasarana PJJ. Dikutip dari id.wikipedia.org, Pendidikan Jarak Jauh (distance education) adalah pendidikan formal berbasis lembaga yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya.
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) jelas mempersyaratkan adanya sarana yang bisa menjembatani siswa dan guru melakukan proses pembelajaran secara indirect atau tatap muka tidak langsung. Sarana yang utama berupa alat telekomunikasi seperti PC (Personal Computer), gawai atau gadget berupa laptop/notebook/netbook/smartphone yang kesemuanya terhubung ke internet. Ketersediaan sarana masih menjadi kendala, mengingat tidak semua guru dan siswa mempunyai sarana PJJ yang mumpuni.
Prasarana PJJ berkaitan dengan ketersediaan akses internet yang mumpuni. Berbicara akses internet, tentu terkait erat dengan kemampuan atau dukungan daya beli kuota dan sinyal internet. Bukan rahasia, sinyal internet di banyak wilayah Indonesia tidak sebegitu kuat. Hanya untuk mendapat sinyal, perlu perjuangan cukup berat yang bahkan harus naik bukit hingga puncak pohon nan tinggi.
Di masa pandemi korona yang memaksa PJJ untuk mengutamakan keselamatan, kuota internet yang memadai mutlak diperlukan. Ironisnya, orang tua dan guru harus menguras kantong dalam membeli kuota internet. Ragam layanan yang lebih mengutamakan bisnis telekomunikasi, mengakibatkan keluhan mahalnya belanja kuota atau pulsa internet.
Lemahnya daya beli pulsa internet yang dapat mendukung PJJ diperparah dengan banyaknya PHK atau pegawai yang dirumahkan. Tidak sedikit, siswa dan orang tua terus mengeluh karena terbentur keadaan. Bahkan mereka terpaksa menjual apa yang dimiliki, termasuk yang sedang viral di media “harga diri”.
Upaya Kemendikbud di Bawah Nakhoda Mas Nadiem
Apakah Kemendikbud, Sekolah, dan Guru diam saja atau mungkin mendiamkan tantangan di atas? Tidak. Sekali lagi, Tidak. Mas Nadiem (sapaan akrab di berbagai kesempatan) sebagai nakhoda Kemendikbud, sudah merespon dengan cepat. Apa buktinya?.
Kembali pada produk kebijakan, melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, Mas Nadiem (Kemendikbud) memberi rambu-rambu penyesuaian kedaruratan Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Proses Belajar Dari Rumah (BDR), Ujian Sekolah dan Kelulusan, Kenaikan Kelas, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan Penggunaan Dana BOS. Dikeluarkannya SE Mendikbud ini jelas menjawab tantangan yang diakibatkan terjadinya pandemi korona dengan menggaris bawahi kepentingan mengutamakan kesehatan dan keselamatan seluruh warga negara.
Menarik untuk ditelisik (mungkin banyak yang tidak membaca dan menganalisis lebih jauh), dalam SE Nomor 4 Tahun 2020 tertanggal 24 Maret 2020, Mas Nadiem sudah menegaskan bahwa Dana BOS boleh digunakan untuk membiayai pembelajaran daring/jarak jauh. Selanjutnya SE Nomor 4 Tahun 2020 ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tertanggal 9 April 2020. Dalam Permendikbud ini, kembali ditegaskan bahwa Dana BOS dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah.
Merujuk pernyataan Presiden Joko Widodo (Senin, 2 Maret 2020) mengumumkan kasus pertama virus corona di Indonesia, Pemprov DKI Jakarta dan disusul Pemprov Jawa Barat meliburkan sekolah. Langkah strategis untuk melokalisir merebaknya penyebaran virus korona diikuti oleh pemerintah daerah secara simultan.
Jika ditarik dari awal mula pernyataan resmi pemerintah (2 Maret 2020) dan meliburkan sekolah (pertengahan bulan Maret 2020) dengan keluarnya SE Nomor 4 Tahun 2020 (24 Maret 2020), jelas ada gerak cepat dari Mas Nadiem dan jajarannya untuk mengkondisikan keadaan. Kebijakan yang cepat dan terarah inilah yang sebenarnya untuk pijakan bagaimana menjawab tantangan PJJ dan semakin ramai di berbagai media akhir-akhir ini.
Mengapa Mas Nadiem jadi sorotan berkaitan dengan lemahnya akses internet dan daya beli pulsa internet? Menarik untuk dikupas tuntas. Jaman sekarang beda dengan jaman dulu. Sejalan dengan idiom “cantik” dalam bahasa Jawa “Klemben-klemben, roti-roti. Mbiyen-mbiyen, saiki-saiki”.
Jaman dulu tidak banyak media menyoroti setiap kebijakan dan eksekusinya. Jika ada yang tidak setuju dengan kebijakan, tinggalkan saja. Jika ada siswa melawan, jewer saja. Masalah selesai. Lain halnya dengan jaman sekarang, hampir setiap kebijakan disorot tajam. Apalagi oleh media dan wartawan yang abal-abal. Sedikit salah “menurut mereka”, maka lubang semutpun mereka masuki.
Pengambil kebijakan dan eksekutor di tingkat bawah akan berpikir seribu kali untuk melangkah dan bergerak cepat. Sedikit saja mereka tergiring “opini sesat” maka nama baik, kedudukan, dan penjara taruhannya. Sedang kita sebagai penonton, santai-santai saja menikmati seibarat sinetron atau telenovela. Tidak ada usaha untuk melakukan pembelaan.
Mempertimbangkan berbagai resiko dan kemungkinan, program bantuan pulsa lewat Dana BOS oleh sekolah, ada yang baru dapat direalisasikan bulan Juli 2020. Program bantuan pulsa ini menyasar siswa, guru dan karyawan sekolah. Harapannya, memberi bantuan agar program PJJ, tidak lagi terkendala belanja pulsa untuk akses internet.
Program bantuan pulsa lewat Dana BOS perlu dievaluasi untuk terus diperbaiki dan ditingkatkan sesuai perkembangan yang ada. Apakah sesuai dengan kebutuhan dan daya beli orang tua siswa? Mengingat kebutuhan internet masih bergantung pada bisnis telekomunikasi. Namanya bisnis, jelas mereka lebih mementingkan keuntungan walaupun dibungkus dengan bahasa iklan "Ikut Membantu Meringankan Bangsa dan Negara".
Bisa kita bayangkan, dari awal PJJ (pertengahan bulan Maret 2020) hingga Mas Nadiem membuka kotak pandora masalah utama PJJ di daya beli kuota internet (akhir bulan Juli 2020), sebetulnya Mas Nadiem (Kemendikbud) sudah bergerak cepat. Memberi pijakan Dana BOS dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah.
Realisasi dan tindak lanjut di tingkat bawah dengan berbagai pertimbangan, menyebabkan seakan-akan jajaran Kemendikbud lambat menyikapi. Tetapi, Mas Nadiem tetap diam dan menata secara terstruktur dari dalam. Mas Nadiem tidak memberi umpan balik reaktif apalagi berlebihan menyikapi kritikan dan masukan. Sikap diam dan bekerja terstruktur inilah yang membuktikan kebesaran hati dari seorang Menteri yang masih muda ini. Menteri yang akan terus bergerak dengan program-program revolusioner untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan kita di berbagai lini. Semoga.
Bahan Rujukan: Wikipedia, Kemdikbud 1 2 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H