Lingkungan sekolah berubah sepi, serupa sepinya kuburan. Tidak ada lagi riuh suara anak-anak. Tidak ada lagi aktivitas olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler. Semua dihentikan demi mengutamakan keselamatan, terhindar dari paparan virus korona yang mematikan.
Rumah difungsikan sebagai tempat belajar dan bekerja jarak jauh. Jelas memberikan nuansa baru dan memang harus menyesuaikan dengan “pola hidup kebaruan”. Apapun tantangan dan hambatannya, rumah dan penghuninya wajib mengkondisikan dengan tuntutan yang ada.
Demikian pula dengan Kemendikbud, di bawah nakhoda Mas Nadiem, tidak tinggal diam. Bergerak cepat untuk merespon keadaan, berupa apa? Kebijakan yang jelas dan terarah. Mampu dibaca dan dieksekusi baik secara vertikal maupun horizontal. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud merupakan pijakan bagi stakeholder untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Tentu dengan memperhatikan kondisi dan mempertimbangkan kemampuan yang ada.
Langkah Kemendikbud atau bisa lebih populer pada sosok Mas Nadiem sudah memperkirakan dan memberi solusi tantangan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) ke depan. Tantangan yang paling nyata berkaitan dengan sarana dan prasarana PJJ. Dikutip dari id.wikipedia.org, Pendidikan Jarak Jauh (distance education) adalah pendidikan formal berbasis lembaga yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya.
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) jelas mempersyaratkan adanya sarana yang bisa menjembatani siswa dan guru melakukan proses pembelajaran secara indirect atau tatap muka tidak langsung. Sarana yang utama berupa alat telekomunikasi seperti PC (Personal Computer), gawai atau gadget berupa laptop/notebook/netbook/smartphone yang kesemuanya terhubung ke internet. Ketersediaan sarana masih menjadi kendala, mengingat tidak semua guru dan siswa mempunyai sarana PJJ yang mumpuni.
Prasarana PJJ berkaitan dengan ketersediaan akses internet yang mumpuni. Berbicara akses internet, tentu terkait erat dengan kemampuan atau dukungan daya beli kuota dan sinyal internet. Bukan rahasia, sinyal internet di banyak wilayah Indonesia tidak sebegitu kuat. Hanya untuk mendapat sinyal, perlu perjuangan cukup berat yang bahkan harus naik bukit hingga puncak pohon nan tinggi.
Di masa pandemi korona yang memaksa PJJ untuk mengutamakan keselamatan, kuota internet yang memadai mutlak diperlukan. Ironisnya, orang tua dan guru harus menguras kantong dalam membeli kuota internet. Ragam layanan yang lebih mengutamakan bisnis telekomunikasi, mengakibatkan keluhan mahalnya belanja kuota atau pulsa internet.
Lemahnya daya beli pulsa internet yang dapat mendukung PJJ diperparah dengan banyaknya PHK atau pegawai yang dirumahkan. Tidak sedikit, siswa dan orang tua terus mengeluh karena terbentur keadaan. Bahkan mereka terpaksa menjual apa yang dimiliki, termasuk yang sedang viral di media “harga diri”.
Upaya Kemendikbud di Bawah Nakhoda Mas Nadiem
Apakah Kemendikbud, Sekolah, dan Guru diam saja atau mungkin mendiamkan tantangan di atas? Tidak. Sekali lagi, Tidak. Mas Nadiem (sapaan akrab di berbagai kesempatan) sebagai nakhoda Kemendikbud, sudah merespon dengan cepat. Apa buktinya?.
Kembali pada produk kebijakan, melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, Mas Nadiem (Kemendikbud) memberi rambu-rambu penyesuaian kedaruratan Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Proses Belajar Dari Rumah (BDR), Ujian Sekolah dan Kelulusan, Kenaikan Kelas, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan Penggunaan Dana BOS. Dikeluarkannya SE Mendikbud ini jelas menjawab tantangan yang diakibatkan terjadinya pandemi korona dengan menggaris bawahi kepentingan mengutamakan kesehatan dan keselamatan seluruh warga negara.