Bulan setengah mata yang menampak di atas pusara kegelapan
Digulung berjuta awan disembunyikan pekat malam
Sosok ringkih yang sedang menggigit kuku-kuku menipis
Menatap jendela kamar pengap tersisir bulir-bulir hujan meniba
Gelap selimut awan menggumpal membawa lakon pilu dua insan manusia
Seiring cemeti Sang Pencipta menggelegar memecah kegelapan
Yang ringkih terkesiap berlari ke hamparan pembelai lelap
Tangannya menggerayang menangkap pengganjal penegak badan
Malam masihlah melakonkan kepiluan yang digelapkan
Yang ringkih masihlah menatap jendela tak bertirai
Pisau-pisau langit berkelabat mencari tempat ketinggian
Menyambar pembusung dada penantang cemeti Sang Pencipta
Deru angin yang datang serentak menerpa bubungan
Menyuarakan tangisan penghuni kegelapan pengharap terang
Sosok ringkih membalik badan ke arah kanan
Tangannya menggerayang mencari sosok pelindungnya, tak lagi ada
Sosok ringkih kembali membalik badan bukan lagi ke kanan
Ke arah kiri ia membalik badan dan kembali tangannya menggerayang
Pada rahim yang tak lagi menghadirkan sosok saudara, ia bertanya
“Bunda…. Dimanakah ayah? Aku rindu dekapannya”
Sang Bunda hanya terdiam
Diantara sudut mata yang tak lagi bening
Menetes bulir-bulir hujan kepiluan, seraya berucap lirih
“Tidurlah anakku. Ayahmu telah tidur di pusara. Menunggu hujan do’a kita”
----28 Mei 2016----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H