Mohon tunggu...
Arrie Boediman La Ede
Arrie Boediman La Ede Mohon Tunggu... Arsitek - : wisdom is earth

| pesyair sontoloyo di titik nol |

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aleppo, Tarian Holokaus Jilid 1001

9 Mei 2016   10:29 Diperbarui: 9 Mei 2016   10:57 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ill - www.bild.de

: hari ini masih ada bergantang-gantang darah yang tersiram-siram, di sana 

mestikah kuaminkan lalu mengulang-ulang rapalan mantra-mantra anti kehidupan seperti yang seringkali kudengar dari nyanyi-nyanyi perih anak-anak itu di padang-padang kering dan memerah?

: di sana, masih sering pula terlihat tarian purba yang menari-nari di gurun-gurun pertaruhan hidup

serasa, ingin merawe-rawe rantas memalang-malang putung penggeram yang mengeram di sepotong tanah pilu yang tak bertuan; di antara generasi yang sengaja akan dihilangkan

: adakah saksi? siapa yang mau jadi penyaksi? siapakah yang mau bersaksi?

di tanah ini tidak perlu saksi, sodara! kerana, saksi adalah pelaku-pelaku yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas awang-uwungnya

saksi-saksi yang mempertunjukkan kekuasaan syahwatnya yang bersendawa di antara tajamnya bayonet dan senjata pemusnah massal; senjata yang bersemayam di dalam dada yang penuh dendam tanpa alasan yang jelas; sebab, mereka adalah saksi-saksi yang mendogmakan genosida

: di sana hari ini ada bapak ibu kehilangan anak-anaknya; ada anak-anak kehilangan bapak ibunya, entah esok

"holokaus! holokaus!"

adalah ayat pembuka dari sebuah kitab bangsa bar-bar; kitab yang mengajarkan kepada penganutnya hanya dengan satu bait, "perang!"

ya, perang! adalah ayat paling suci bagi sebuah bangsa yang peradabannya sangat menghalalkan pencabutan nyawa dan hak-hak hidup sesama; nyawa yang tak lebih mahal dari sebutir peluru

: "ratakan dengan tanah padang pasir itu!" sabda sang tuan pemusnah

dan; senapan-senapan semakin sering menyalak tanpa henti; sebagaimana lolongan srigala-srigala yang haus darah yang menari-nari di padang-padang perburuan; di tanah bertuan yang dianggap tak bertuan

di tanah yang semakin sulit membedakan antara makhluk yang memiliki akal dan yang telah kehilangan akal sehatnya

inilah sepenggal kisah dari dunia yang sepotong; dunia yang terpotong-potong oleh pemotong tali rahim antara anak dan ibunya, antara bapak dan bayi-bayinya yang menyusu di antara asap-asap mesiu

disinilah kisah dunia empat persegi berawal dan mungkin akan berakhir; dunia yang hidup matinya diatur oleh aturan-aturan atas nama sepetak tanah warisan kebudayaan tua yang bercerita tentang hak atas kepemilikan

: aleppo, sesungguhnya selalu kuingin bertanya padamu; pernahkah ada kehidupan seperti ini pada jilid-jilid sebelumnya di tanahmu?

â–  sumur serambi sentul, 09/05/2016 â– 

■ ©2016-arrie boediman la ede ■

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun