Mohon tunggu...
Array Anarcho
Array Anarcho Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Budak korporat yang lagi berjuang hidup dari remah-remah kemegahan dunia. Sekarang ini lagi dan terus belajar menulis. “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. – Imam Al-Ghazali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinasti Keluarga Centeng

1 Mei 2024   19:28 Diperbarui: 1 Mei 2024   19:28 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mad Dola panggilannya. 

Ia bekerja sebagai buruh panggul di pasar tradisional yang ada di tengah kota. 

Hari-hari Mad Dola diisi dengan berbagai kesibukan, terutama berurusan dengan sejumlah preman

Maklum saja, tiap kali truk milik perusahaannya datang, segerombolan preman ini datang menagih iuran.

Alasannya sebagai uang keamanan. 

Padahal, tak pun ada preman, situasi aman-aman saja, karena tak jauh dari tempat kerja Mad Dola ada kantor polisi.

"Mana uang setoran? Kalian bongkar muat kok enggak ada melapor," umpat segerombolan preman sembari memegang buku catatan.

Karena malas ribut, Mad Dola yang punya nama lengkap Muhammad Rahmad memanggil tuannya.

"Nyah, ini ada ketua-ketua datang," teriak Mad Dola pada majikannya yang berada di lantai dua. 

Mendengar seruan tersebut, majikannya yang merupakan wanita keturunan Tionghoa tergopoh-gopoh turun dari lantai dua ruko. 

Perempuan berkulit kuning langsat itu berjalan setengah berlari sembari memegang uang pecahan Rp 5.000 sebanyak empat lembar keluar menuju pintu depan.

"Hayyo, maaf loh. Cuma ini yang ada," kata si perempuan yang akrab disapa Lingling, sembari menyerahkan uang yang dipegangnya. 

Merasa tersinggung karena cuma dikasih Rp 20.000, preman-preman tadi ngamuk. Mereka masuk ke dalam toko dan mengacak-acak barang yang sudah tersusun rapi. 

Karena ketakutan, Lingling, Mad Dola dan pekerja lainnya cuma bisa menghela nafas. 

Mereka terjebak dalam situasi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. 

Mau melapor ke polisi, mereka takut jika preman-preman yang merusuh ini bakal dibebaskan lagi setelah diamankan.

"Kalian kira kami apa! Kok cuma segini. Mana uang yang lain," pekik si preman bertubuh tegap yang di lehernya melingkar kalung emas. 

Lantaran takut dianiaya, Lingling pun naik lagi ke lantai dua.

Di sana, ia membuka laci tempat penyimpanan uang. Diambilnya uang pecahan Rp 100.000, lalu turun menemui preman-preman tadi.

"Cuma ini yang ada. Toko kami lagi sepi," kata Lingling dengan nada lirih.

"Haa, gitulah maunya. Mesti kali rupanya kami bakar toko mu ini, baru kau kasih kami uang. Atau kau ku perkosa saja ya," timpal preman lainnya yang memegang rantai besi.

Lingling yang kala itu berdiri di tengah ruangan cuma bisa mematung. 

Tubuhnya gemetar, dan kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. 

Terpancar rasa ketakutan yang begitu mendalam pada diri Lingling.

"Sudah Nyah, enggak apa-apa. Nonya masuk saja," kata Mad Dola menenangkan majikannya itu. 

Setelah puas menakut-nakuti dan memeras sejumlah pemilik toko, preman-preman tadi bubar. 

Mereka kemudian pergi ke warung, dimana ada menjual minuman keras. 

Di sana, mereka habiskan uang hasil kejahatan untuk mabuk-mabukan.

Setelah aksi bar-bar ini berlalu satu bulan lebih, kali ini kelompok preman yang mengaku cinta NKRI tersebut bergerombol memakai seragam konvoi keliling kota. 

Waktu itu, bertepatan tanggal 30 September. 

Di alun-alun kota, preman-preman yang memakai seragam ini meneriakkan "Ganyang PKI,".

"Hancurkan PKI. Organisasi biadab itu harus dihapuskan dari negeri ini. Mereka tidak layak hidup di dunia ini," teriak sejumlah orang, sembari mengibar-ngibarkan bendera merah putih.

Tak hanya itu, tampak pula dari kejauhan sejumlah anggota preman membawa bendera berlambang palu dan arit. 

Bendera berwarna merah cerah itu lantas dibakar di depan umum, hingga membuat macet arus lalu lintas.

"Kita bakar bendera ini. PKI harus mati," teriak para preman bersahut-sahutan.

Kala itu, Mad Dola yang tengah duduk di dalam truk karena mengantar barang mendadak mengumpat. 

Ia teringat dengan aksi bar-bar kelompok preman itu pada majikannya.

"Cuih,,,, gayanya cinta NKRI. Teriak ini, itu. Macam tidak berdosa saja," kata Mad Dola.

"Kenapa Mad? Kok sepertinya kesal sekali," tanya sopir truk penasaran.

"Binatang-binatang ini pernah memeras majikan kita. Tapi sekarang seolah cinta NKRI. Harusnya mereka yang dibubarkan dari negara ini. Dasar biadab,"

"Gayanya saja membawa bendera merah putih pakai teriak-teriak takbir. Saat memeras itu, mereka bahkan sama sekali tak mengingat Tuhan! Dasar bajingan. Setan," pekik Mad Dola.

Sopir yang duduk di samping Mad Dola cuma bisa geleng-geleng kepala. 

Setelah mengumpat berkali-kali, kekesalan Mad Dola pun mereda.

 Truk yang ditumpanginya kemudian melaju kembali setelah preman-preman tadi selesai melakukan aksi.

Bagi masyarakat kota, kelompok preman ini bukan hal baru. 

Masyarakat sudah terbiasa dan menganggap lumrah orang-orang semacam ini. 

Biasanya, preman-preman tersebut dikomandoi para centeng. 

Tentu saja centeng-centeng itu sekarang sudah berpendidikan. 

Bahkan sudah ada yang menyandang gelar sarjana, walaupun tak tahu kapan dan dimana sekolahnya. 

Siapapun pasti tahu, pendidikan yang ditempuh si centeng secepat kilat. 

Malah lebih cepat dari sambaran petir sekalipun.

Walaupun begitu, kita yang awam ini cuma bisa mendehem.

Dalam hati cuma berharap, hilanglah kalian dari muka bumi ini. 

Bila perlu, matilah kalian. Masuk lah dalam neraka jahanam yang paling dalam. 

Tapi itu cuma angan-angan saja. Para centeng tetap hidup mewah, menikmati harta rampasan masyarakat. 

Kemewahannya tak lebih dari genangan darah para pemilik lahan yang diusir paksa dengan cara-cara biadab.

Sekarang banyak centeng baru berkuasa. 

Cara-cara licik dan kotor dalam mendapatkan sesuatu, menjadi lumrah ketika terjadi pemilihan perwakilan centeng. 

Maklum saja, barang siapa yang menjabat perwakilan centeng untuk kota ini, tentu bisa melakukan apa saja. 

Termasuk menaklukkan pejabat sekalipun. 

Itu makanya, tiap kali ada momen pemilihan centeng, pasti segala daya dan upaya dilakukan. 

Mereka yang barangkali punya latar belakang biasa-biasa saja, pasti ciut nyali untuk menampilkan diri.

Sebab apapun ceritanya, dinasti tetaplah dinasti. 

Sedemokrasi apapun zaman, dinasti yang sudah dibangun jauh-jauh hari tak akan runtuh. 

Ia akan tetap kokoh bersama pengikutnya yang suka menjilati dubur dan kemaluan. 

Yang jadi kegelisahan orang-orang seperti Mad Dola, Lingling dan mungkin kaum lemah di kota ini, apakah dibawah kepemimpinan centeng-centeng baru itu, para preman akan semakin menggila. 

Karena semua orang tahu, centeng-centeng keturunan bandit punya koneksi yang luar biasa. 

Bahkan hukum sekalipun, bisa tunduk hanya dengan jentikan jari.

Mad Dola, Lingling dan kaum papah lainnya berdoa pada Tuhannya masing-masing. 

Semoga preman-preman itu cepat mati, sebagaimana matinya orang-orang yang dituduh dan dicap PKI.(ray)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun