PETUAH-PETUAH ketawakalan yang sering didengungkan para ustadz di pesantren begitu Koma hayati. Jargon-jargon bahwa Allah tak akan mengubah nasib seseorang hingga seseorang itu berusaha mengubahnya, senantiasa Koma lekatkan di ingatan. Tekad sudah teguh tertancap. Kesabaran dan keuletan terus digelorakan. Walhasil, bekal-bekal itu ikut mengantarkan Koma pada keberhasilan.
Di saat remaja lain menghabiskan masa remaja dengan banyak hura-hura dan keluyuran, Koma memanfaatkan masa remaja tekun belajar di pesantren. Separuh waktu di luar kegiatan pesantren, atas izin sang kyai, Koma bekerja di toko kain milik Haji Abdul. Berangkat dari niat awal bekerja semata-mata untuk mengumpulkan biaya pengobatan epilepsinya. Hal itu tercetus karena Koma sudah mencapai puncak rasa malu terus-terusan menadahkan tangan, membuat Koma belajar mandiri dan berusaha keras berpijak di atas kaki sendiri. Sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ketergantungan bantuan orang lain.
Sang pemilik toko terkesan dengan keuletan dan kejujuran Koma, hingga seringkali Koma dilibatkan dalam pengelolaan toko. Cepat sekali Koma belajar dan menguasai seluk beluk usaha itu. Lebih setahun kemudian, atas dukungan Haji Abdul, Koma belajar mandiri, buka toko kain sendiri. Tahun pertama mengelola toko kainnya, kegagalan dan kerugian beberapa kali menghantam, malah hampir bangkrut. Tapi Koma tak gampang menyerah. Di tahun kedua, modal dan aset usaha berjalan stabil.
Sebuah pencapaian luar biasa dari kegigihannya. Perlahan, di tahun ketiga, Koma berhasil menggapai titik kemapanan, mapan dalam ekonomi. Koma sudah benar-benar lepas dari bantuan pesantren, dan giliran Koma yang banyak memberikan bantuan operasional dan biaya pembangunan beberapa fasilitas pesantren.
Di usia muda, Koma dapat dikatakan menjelma pengusaha sukses. Punya toko kain sendiri di kawasan Cigondewah, dua cabang lagi di Cianjur dan Sukabumi. Keberhasilan yang diraih Koma tidak didapatnya dengan mudah. Koma mencapai kesuksesan melewati beberapa kali jatuh bangun.
Dalam posisi mapan itu, prioritas utama yang selalu mengganggu ketenangannya adalah menemukan Asih. Di tengah kecukupan, ada kekurangan. Cukup harta, tapi selalu merasa tak cukup, sebab tiada ibu di sampingnya, sosok yang dapat memberikan perhatian kasih sayang. Koma ingin sang ibu ikut menikmati buah dari perjuangannya. Tentunya sebagai anak, ingin menunjukkan jika ia bisa menjadi kebanggaan, menyenangkan orangtua, dan boleh dikata itu sebagai bentuk balas budi, rasa terima kasih. Walaupun secara hitung-hitungan, seberapa pun besar balas budi, sepertinya tak sepadan dengan kasih sayang sang ibu. ***
SETELAH mencapai kesuksesan, saat yang tepat untuk menyempurnakan cita-cita cinta itu dengan sebuah komitmen. Semua yang dibutuhkan sudah siap. Usia cukup matang untuk ukuran kesiapan mental. Dan kemapanan finansial untuk penunjang masa depan pun sudah siap. Cita-cita cinta itu baru sempurna, disempurnakan dengan menyunting Rindu. Sudah sampai waktunya ikatan hati itu dieratkan dalam sebuah simpul pernikahan.
Ini yang selalu hadir dalam imajinasi Koma, bayangan indah, melakukan banyak hal bersama Rindu. Setiap menit, sungguh akan terasa begitu nikmatnya dijalani bersama dengan seseorang tercinta. Manakala terbangun, yang paling pertama dilihat adalah sosok orang yang dicintai, sungguh begitu indahnya. Di suatu sore mendung, Koma bertandang ke rumah tinggal Kyai Mastur, niat awal adalah mengemukakan hasratnya untuk menikahi Rindu.
"Neng, kita sama-sama sudah dewasa. Akang kira kita sudah siap! Tidakkah kita menginginkan sesuatu yang lebih baik?" cetus Koma.
"Maksud akang?" Rindu pura-pura tak mengerti.
"Ya sudah, tak perlu basa-basi lagi. Maukah Neng menikah dengan Akang?" tegas Koma.