Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma : Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 2 - Dua Puluh Sembilan

27 Agustus 2013   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:43 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua Puluh Sembilan

~ Bintang Benjang ~

Iringan tetabuhan kendang disahuti lengkingan terompet terdengar di kejauhan. Harmonisasi musik begitu dinamis. Kadang pelan merayap seolah bersiap melesat, lalu berubah cepat seakan menyongsong genderang perang. Koma terperanjat dari keasyikannya menangkapi belalang kecil. Ini kali pertama mendengar aneka rupa bunyi itu. Koma kecil terpancing mencari dimana sumber tetabuhan itu berasal.

Lepas dari pengawasan Asih, Koma beranjak menyusuri pematang sawah ke arah selatan. Dia masuk sebuah gang, mencari-cari sumber suara itu. Semakin berjalan, suara itu semakin menjauh. Sepertinya berasal dari arah barat. Koma masih sangat asing dengan daerah sekeliling tempat itu. Sangat jarang keluar jauh dari lingkungan rumah, dia serupa tahanan rumah yang tak luput dari pengawasan ketat. Koma berbelok masuk sebuah gang kecil, lebarnya hanya cukup untuk dua orang. Belasan langkah, liku lorong gang hanya mengantarkan Koma pada ujung gang yang buntu. Dia berputar kembali untuk menemukan belokan gang.

Belok kiri, Koma menemukan lorong gang tepat menerobos langsung ke jalan besar perkampungan. Di mulut gang nampak keramaian orang, tua muda, lelaki perempuan berkonvoi. Keluar dari gang, Koma semakin jelas menyaksikan iringan orang-orang memanjang puluhan meter. Di tengah barisan diisi sekelompok orang menabuh kendang dan dogdog begitu bersemangat. Di barisan depannya lagi, sekelompok lelaki gempita menunggang kuda mainan, badannya dari rotan diikat tali disampirkan ke pundak. Kepala kuda itu terbuat dari bilik bambu dengan rambut-rambut dari serabut ijuk. Diikuti dua orang memakai topeng, seperti penari barongan, meliuk-liuk mengikuti irama musik. Topeng kepalanya mirip gabungan singa dan naga, dipulas kombinasi warna merah tua dan hitam. Bagian bawahnya diselimuti karung goni.

Di barisan kedua dari paling depan, sekelompok lelaki menabuh aneka gendang dan gong. Seorang pria paruh baya dengan pipi kembang kempis meniup terompet. Dua orang lelaki memanggul kotak dengan menara menjulangkan corong pengeras suara di atasnya, sumber tenaganya didapat dari accumulator. Sesekali penyanyi wanita, sepertiga abad lebih usianya, melengkingkan cengkok lagu-lagu berbahasa Sunda. Sedangkan barisan terdepan, empat ekor kuda didandani berbagai aksesoris gagah berjingkrak-jingkrak menari ditunggangi bocah-bocah berpakaian dihias rumbai-rumbai warna mencolok.

Ritmis musik merayu Koma untuk bergabung, bergerak-gerak, menari, tapi masih tertahan dengan ketakjuban pemandangan yang baru pertama kali itu dia saksikan. Rombongan berbelok ke kanan, turun dari jalan landai menuju sebuah lapang cukup luas. Iring-iringan dan musik berhenti sejenak di lapang berumput carang, biasa digunakan warga bermain sepak bola. Para penabuh menurunkan kendang, gong dan beberapa alat tabuh lain dari panggulannya. Sebagian beristirahat dengan duduk, berjongkok, dan nampak berbincang. Koma memutar pandangan ke segala arah.

***

Seperempat jam kemudian, musik kembali ditabuh. Kerumunan orang melingkari separuh lapangan. Beberapa penari penunggang kuda kepang satu persatu masuk ke tengah lapangan, berlari-lari kecil berkeliling, disusul seorang lelaki berbaju kuning mencolok ramai dengan renda-renda, kedua tangannya menggenggam sepasang cambuk cukup panjang, dialah sang Malim. Beberapa kali putaran para penari penunggang kuda kepang itu mengitari arena.

Sang Malim komat-kamit melafal jampi, tak jelas apa yang dibacanya karena kalah oleh nyaring bunyi tetabuhan dan pekikan terompet. Satu persatu penari penunggang kuda kepang mendekat, sang malim membaca mantra dan meniupkan di ubun-ubunnya. Satu usapan di wajah, seketika penari penunggang kuda kepang bergulingan, kesurupan, menari-nari dengan gerakan tak beraturan, sesekali nampak jurus-jurus silat. Tiada gores ketakutan sedikit pun di wajah Koma yang berdiri di deretan terdepan, dia takjub menyaksikan.

Entah siapa yang menekan tombol kendali perubahan, sebuah energi menjalari Koma, membuat tubuhnya bergetar. Semakin lama getaran semakin terasa kuat. Pendengaran menangkap suara-suara aneh selain tetabuhan. Dia menangkupkan kedua telapak tangan di telinganya, menghindarkan pendengaran dari suara-suara aneh yang mengalahkan nyaring tetabuhan dan riuh penonton. Getaran tubuh terasa kian tak terkendali, Koma gelisah, tak nyaman berdiam diri. Cuaca cukup panas, tapi dingin terasa menyelusup rongga tulang, semakin kentara hingga membuatnya menggigil.

Sebuah energi lebih besar menjalari tangan. Koma tak dapat menahan energi yang menggerakkan tangannya tak beraturan, kadang lambat, kadang cepat, lalu membentuk gerakan seperti sebuah tarian terpatah-patah. Kesadaran Koma dikuasai sesuatu, dengan mata terpejam dia menari lepas. Dari tangan, energi itu menjalar ke kaki, menuntun langkah menuju tengah arena. Dia berbaur bersama para penari penunggang kuda kepang dan Sang Malim. Di tengah arena, Koma tak berhenti menari, mengeluarkan jurus-jurus silat mengikuti alunan tetabuhan.

Sang Malim terkejut kedatangan tamu tak diundang, tapi dia biarkan saja lantaran terfokus mengawasi penari penunggang kuda kepang yang tengah kesurupan. Para penabuh terkesima dengan kehadiran bocah lelaki dengan jurus-jurus silat, bahkan mengantar dengan tabuhan yang kian bergelegak ritmis seolah menyemangatinya. Orang-orang menduga, bocah itu bagian dari pertunjukan Benjang Helaran. Sebagian menyangka Koma anak seorang tetua yang kental mewarisi darah seni Benjang.

***

Tiba-tiba, di bawah pengaruh kesurupan, salah seorang penari kuda kepang mengamuk dan bergulingan kesana kemari. Rona garang di wajah jelas tersirat, bersiap menerjang siapa pun yang ada di hadapannya. Dia menuju Sang Malim, bersiap, dan menerjang. Dengan gesit Sang Malim menunduk menghindar. Diikuti beberapa penari lain bergiliran menerjang, Sang Malim menghindari semua terjangan para penari kuda kepang. Itu adalah bagian dari adegan Benjang Helaran yang sering dipertunjukkan. Hampir semua pertunjukan Benjang menampilkan adegan itu. Yang paling menyeramkan adalah adegan para penari kuda kepang yang memakan pecahan kaca, melahap ayam hidup-hidup atau memakan apa saja yang tak lumrah dimakan manusia normal dalam keadaan sadar.

Begitu asyik Koma menari menikmati tetabuhan, seakan tak peduli apa pun yang terjadi di sekitarnya. Dia hanya melihat dengan pandangan biasa, bahkan tak terganggu dengan adegan terjang menerjang penari kuda kepang dan Sang Malim. Koma makin menuju ke tengah arena dengan gerakan tarian dan jurus-jurus silat yang sering ditampilkan dalam Benjang Helaran.

Sorak sorai penonton berubah histeris manakala seorang penari kuda kepang mengamuk menuju arah Koma dan bersiap menerjang. Tanpa aba-aba, seorang penari kuda kepang berlari menghampiri bocah itu. Beberapa langkah lagi hampir mendekati, dan tak ragu lagi penari kuda kepang itu menerkam. Satu terkaman itu disapu oleh sebuah gerakan tangan mungil hingga penari kepang terpental bergulingan. Sang malim tak sempat mencegah, dia terkonsentrasi menyadarkan seorang penonton yang tak sengaja kesurupan. Penonton wanita yang menyadari itu bukan bagian dari skenario pertunjukan menjadi panik, tapi tak bisa berbuat banyak.

Penari kuda kepang lain menyusul, memburu dan menerjang Koma. Tak kalah gesit, seperti pendekar tangguh yang mumpuni dengan silatnya, Koma menghindar dengan kuda-kuda yang anggun. Sorak sorai kembali membahana diiringi tepuk tangan penonton. Koma menjadi pusat perhatian, tapi dia tetap tak acuh, bocah itu terlalu asyik menari.

Empat orang penari kuda kepang tampak semakin buas, bersiap menerjang Koma sekaligus. Koma malah semakin larut menari. Tanpa komando, empat penari kuda kepang bersamaan menerjang Koma. Dengan satu gebrakan kaki diringi gerakan menyingkap dua tangannya, semua penari kuda kepang yang menerkam terjungkal bergulingan. Penonton semakin riuh bersorak. Koma tetap tak acuh, seolah tak terjadi apa-apa.

Para penari kuda kepang satu persatu bangkit, diikuti dua penari barongan, dan seorang penonton yang tak sengaja kesurupan, siap menerjang lagi. Mencium gelagat pertunjukan akan tambah kacau, sang Malim bersama beberapa orang manangkapi satu persatu penari kuda kepang untuk disadarkan. Tetabuhan berhenti sesuai inisiatif masing-masing. Pertunjukan terpaksa dihentikan sebelum suasana kian tak terkendali. Pertunjukan lain yang akan ditampilkan menyusul, juga dibatalkan.

Sehabis itu, tombol kendali perubahan Koma seolah ada yang mematikan, dia akan berubah kembali menjadi anak kecil. Setelah kembali normal, dengan kepolosannya Koma menatapi seluruh keramaian, dan aterpaku bingung. Tak ada orang yang dia kenal. Sebagian orang kagum dengan kemahirannya menghibur penonton. Koma kecil menjelma bintang Benjang cilik.

Sang Malim menghampiri Koma dan menegurnya. Beberapa kepenasaran dia urung tanyakan. Sang Malim cukup bijak, dia tahu bagaimana seharusnya bersikap dan memperlakukan anak kecil. Sang Malim menanyakan siapa orang tua dan dimana rumah Koma. Bocah itu hanya melongo segan, dia tak mudah akrab dengan orang asing. Hanya menyebut-nyebut "Mahsih", panggilan ibunya itu. Koma tak tahu jalan pulang. Jika tak bersama Asih, bocah itu tak pernah keluar dari batas habitatnya di sekitar rumah Bi Tati.

Tak siapa pun diantara orang-orang di sana mengenali Koma. Setelah pertunjukan dihentikan, kerumunan penonton bubar, sang Malim mengajak serta bocah itu ke rumahnya sambil mencari informasi dan menyebarkan kabar keberadaan Koma sebagai anak hilang. Koma merasakan ketulusan sang Malim, dia bersedia ikut. Beberapa hari, Koma tinggal di rumah Sang Malim sebelum akhirnya Tarya, sang paman yang juga menantu Bi Tati menjemputnya. Tentu saja sang ibu kelimpungan mencari-cari selama Koma menghilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun