"Aku butuh ruang, dan aku harus dibebaskan bergerak. Aku tidak bisa bergerak lari naik dan turun, selalu. Aku punya berat badan 98 kilo dan aku tidak punya kekuatan fisik seperti itu" keluh Ibra.
"Itu tidak akan berhasil, itu seperti kau membeli Ferrari tapi kau mengendarainya seperti hanya mengendarai Fiat" cadas Ibra.
Akhirnya sudah diduga. Bagi Pep, tak mungkin ada dua bintang di panggung yang sama, apalagi sebagai pelatih, Guardiola percaya bahwa pelatih harus menaklukan ego pemain, ketika itu tidak terjadi, sang pemain harus disingkirkan.
Hanya tampil 29 kali dengan torehan 16 gol bagi Barcelona, akhirnya Ibra dipinjamkan dan dipermanenkan AC Milan. Klub Italia yang mau menerimanya dalam keadaan terluka.
Di AC Milan, Ibra mendapatkan apa yang diinginkannya. Pengakuan atas keistimewaannya dan ruang untuk dirinya sebagai pemain penentu diberikan Milan kepadanya. Ibra tampil bak pangeran, jika tak mau dibilang raja.
Ketika kembali di tahun 2020 setelah berkelana ke Liga Amerika Serikat, penerimaan itu nampak kental.Â
Ibra dipersilahkan bukan saja untuk memberikan pengaruh ketika bermain, tetapi juga ketika cedera, Ibra dipersilahkan berteriak memberikan semangat kepada para pemain AC Milan.
Ibra menyatu dengan pemain, pelatih, staf dan juga fans. Ibra merasakan yang diinginkan oleh yang berdarah Milanisti.
Maka tak heran, meski jarang bermain karena cedera, Ibra menjadi sangat antusias ketika Milan berhasil menapak semifinal Liga Champions, dan bersua Inter Milan.
Mungkin salah satu alasannya adalah Ibra ingin melihat bahwa klub yang memberikan cinta padanya itu mampu ke final dan berhadapan dengan Manchester City, klub yang dinahkodai Pep Guardiola.
Sayang, keinginan Ibra itu tak kesampaian. Milan mesti tersingkir, dan Ibra tak jadi bersua kembali dengan Guardiola.