Di lini tengah, Casemiro ditemani Lucas Paqueta dan Neymar. Jelas sekali berbeda. Neymar memang skillfull, tetapi jika kecapean akan memilih menjatuhkan diri dalam drama yang mengundang isi stadion bersiul untuknya.
Paqueta juga cenderung ofensif. Sering lupa diri. Meninggalkan jarak, ketika gerak Casemiro melambat.
Tapi esensi para prajurit jogo bonito itu tetap begitu. Larut dalam fantasi bahwa Selecao tak mungkin tersingkir di perempat final. Padahal tanda-tanda itu sudah terlihat ketika Vini Jr yagn garang dibuat jinak oleh lini pertahanan Kroasia dan Kiper, Livakovic yang tampil cemerlang.
Selecao bahkan masih bisa bergaya ketika menghujam gawang Livakovic sebanyak 11 kali, meski hanya satu bola yang melekat di jaring selama 120 menit.
Mereka bergoyang samba, dan mengira bahwa akan berdansa lebih banyak lagi seperti kala mengalahkan Korsel.
Mereka seperti lupa bahwa Korsel bukan Kroasia. Negara ini adalah runner-up Piala Dunia 2018.
Di Piala Dunia itu, Â Brasil masih trauma akan kekalahan menyakitkan dari Jerman di Piala Dunia 2014, Modric sudah membuat Kroasia menjadi panji yang menyeramkan.
Negara pecahan Yugoslovia ini, tampil dingin. Melumat lawan satu persatu, dan tak perlu berpesta berlebihan ketika menang karena perjuangan belum usai.
Perjuangan menyulitkan di masa kecil saat  perang di Zagreb yang dirasakan rata-rata punggawa senior seperti Modric, mengakar kuat, bahwa mereka tak pernah akan berhenti berlari, mengejar bola sebelum "perang" benar-benar usai.
Mungkin ibaratnya seperti ini. Ketika Brasil melakukan Samba di ruang ganti, untuk merayakan kemenangan. Pemain Kroasia masih duduk serius, "membersihkan senjata" untuk laga selanjutnya. Menghormati lawan.
Siapa yang menghormati lawan, akan melangkah lebih jauh.