Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tan Liong Houw, Macan Betawi asal Tionghoa dan Kisah Heroik di Olimpiade Melbourne 1956

1 Februari 2022   09:59 Diperbarui: 1 Februari 2022   10:04 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tan Liong Houw I gambar : akun twitter Persija Jakarta

"Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepakbola,"- Legenda sepakbola,  Tan Liong Houw.

Sebelum Olimpiade 1956, sebenarnya sudah ada kisah monumental lain yakni Piala Dunia Prancis 1938 yang melibatkan nama-nama etnis Tionghoa seperti Tan Mo Heng, Tan See Handi, dan Tan Hong Djien,  tetapi saat itu belum memakai nama Tim Nasional Indonesia, namun Hindia Belanda.

Di Piala Dunia 1938 itu, Hindia Belanda memang belum dapat berbicara banyak, namun pengalaman pernah menghadapi Hungaria, salah satu tim paling kuat dunia saat itu, tentu menjadi catatan bersejarah yang tak boleh dilupakan.

Di Olimpiade musim panas 1956, kisah heroik kembali tercipta dan melibatkan banyak juga pemain beretnis tionghoa. Tepatnya pada 29 November 1956 di Melbourne, Australia, ketika Indonesia berhasil menapak hingga perempat final dan mesti berhadapan dengan raksasa dunia saat itu yakni Uni Soviet.

Sebelumnya, dapat dikatakan bahwa perjalanan dan persiapan timnas Indonesia menuju Olimpiade 1956 ini dilakukan dengan serius.

Tim asuhan pelatih asal Yugoslavia, Antony Pogacnik kabarnya bahkan melakukan beberapa pertandingan uji coba ke sejumlah negara di Eropa timur. Tur ini dihelat pada Agustus sampai September 1950 di Uni Soviet, Yugoslovia, Jerman Timur dan Cekoslovakia sebelum bertolak ke Australia.

Inilah yang membuat para pemain timnas Indonesia maju ke "medan perang" dengan gagah berani, tanpa takut bahwa lawan yang dihadapi adalah para raksasa dunia.

Di babak perempat final, Uni Soviet sudah menunggu. Timnas menurunkan starting line up seperti ini. ; Maulwi Saelan (GK), Mohammad Rasjid, Chairuddin Siregar, Ramlan Yatim, Kiat Sek Kwee, Tan Liong Houw, Endang Witarsa, Sian Liong Phwa, Ashari Danoe, Him Tjang Thio, Andi Ramang.

Di sisi lawan, diisi nama-nama yang amat menakutkan. Nama-nama beken saat itu seperti Anatoli Bashashkin, Igor Netto, Boris Tatushin semakin dilengkapi dengan kiper legendaris, Lev Yashin dan dilatih Gavril Kachalin.

Siapapun yang menyaksikan laga tersebut yakin bahwa Uni Soviet akan meremukkan Indonesia dengan mudah. Akan tetapi keajaiban terjadi, tak semudah membalikkan telapak tangan, Indonesia berhasil menahan Uni Soviet dengan skor kacamata, 0-0.

Di lapangan yang terlihat adalah sebelas orang yang membela Indonesia dan berjuang hingga titik darah penghabisan, jatuh bangun dan terus berlari menjaga agar para pria jangkung dengan tampang "beringas" itu jangan sampai membobol gawang Maulwi Saelan.

Benar, Indonesia bermain dengan strategi bertahan super. Toni Pogacnik menginstruksikan kesepuluh pemain bertahan dan membiarkan Andy Ramang untuk mengintip peluang mencetak gol.  

Uni Soviet nampak bingung melihat strategi seperti itu, bahkan jika tak memiliki kiper sekelas Lev Yashin, maka Uni Soviet bisa kebobolan di menit ke-84, apabila tendangan Ramang tak mampu ditepis Yashin.

Hasil imbang dengan sistim pertahanan yang baik itu bahkan mengundang komentar Presiden FIFA, Sir Stanley Rous. "Baru kali ini saya melihat permainan bertahan yang sempurna," kata Sir Stanley Rous.

Karena belum mengenal adu penalti, maka pertandingan diulang kembali. 

Uni Soviet yang sudah tahu kualitas Indonesia lebih mempersiapkan taktik dengan baik. Di laga ulangan, Ramang tidak diberi ruang lebih luas, dan ofensivitas Uni Soviet terlihat lebih bervariasi. Alhasil, Uni Soviet unggul telak 4-0, dan membuat Langkah Indonesia terhenti.

Meski kalah, kisah heroik 1956 itu akan selalu dikenang. Kisah yang memperlihatkan profil timnas yang beragam etnis tapi bisa bersatu padu membela Indonesia.

Tan Liong Houw, Si Macan Betawi

Bertahun-tahun kemudian, kisah heroik itu diceritakan kembali oleh Tan Liong Houw, pemain timnas di Olimpiade 1956 itu. Mungkin publik lebih mengenal Ramang, Maulwi Salean ataupun Endang Witarsa, tapi nama Tan Liong Houw juga dapat disebut sebagai pemain penting saat itu.

Dalam laga di Olimpiade 1956, Tan Liong Houw yang lahir pada 26 Juli 1930 ini berposisi sebagai gelandang kiri. Dia jatuh bangun menghentikan eksposivitas para pemain bertubuh lebih besar dari Uni Soviet.

Tan Liong memberikan gambaran perbedaan atau perbandingan fisik antara pemain Indonesia dan Uni Soviet itu dengan menunjukkan jari manis dan kelingking nya.

Tan Liong Houw dibawa keluar lapangan oleh ofisial, pemain setim, dan pemain Uni Soviet karena cedera I gambar : FB PSAI
Tan Liong Houw dibawa keluar lapangan oleh ofisial, pemain setim, dan pemain Uni Soviet karena cedera I gambar : FB PSAI

"Mereka [Uni Soviet] tahu waktu di pertandingan pertama tidak bisa lagi main 'normal' lawan Indonesia. Harus main kasar kalau mau menang. Hampir semua pemain banyak yang cedera kakinya. Rasanya seperti sudah tidak bisa lari lagi," kata Tan Liong Houw.

Bahkan diceritakan juga oleh pemain yang bernama lain Latief Haris Tanoto itu tentang kaos kaki pemain timnas yang sampai robek.

"Begitu selesai pertandingan kaos kakinya robek-robek, karena begitu hebatnya menahan gempuran pemain Soviet supaya tidak melewati garis tengah permainan," ujar Tan Liong.

Ketika ditanya tentang peran pemain beretnis Tionghoa saat itu, Tan Liong Houw, menyebut bahwa meski beretnis  Tionghoa, mereka semua bemain dengan hati untuk Indonesia.

Jiwa dan raga mereka dipertaruhkan untuk Indonesia, apalagi Tan Liong sendiri juga  sudah berbaur dan dicintai para penikmat bola nasional khususnya di Jakarta. Dia bahkan diberi julukan "Macan Betawi" saat membela Persija Jakarta.

Julukan ini diberikan oleh Jakmania untuk pergerakan dinamisnya dari sektor sayap yang mengundang decak kagum para penikmat bola.

Tan Liong Houw  yang besar dari klub binaan Persija bernama PS Tunas Jaya (dahulu bernama Chung Hua) dikenal dengan permainannya yang lugas dan berani.

Dia sering memotivasi para pemain lain untuk tampil dengan daya juang yang luar biasa. Tak ayal, pada 1954 dia memberi gelar liga untuk Persija dengan mengalahkan PSMS Medan di final.

Sekali lagi jejak Tan Liong Houw kembali mengingatkan bahwa Tionghoa hanyala sebuah etnis. Namun ketika membela timnas Indonesia, nasionalisme Tan Liong Houw sudah memuncak.

Makanya ketika suatu saat ditanya tentang kecintaan orang etnis Tionghoa terhadap Indonesia khususnya di sepakbola, Tan Liong menjawab dengan tegas seperti ini;  

"Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepakbola," .

Sumber : 1 - 2 - 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun