Benar, Indonesia bermain dengan strategi bertahan super. Toni Pogacnik menginstruksikan kesepuluh pemain bertahan dan membiarkan Andy Ramang untuk mengintip peluang mencetak gol. Â
Uni Soviet nampak bingung melihat strategi seperti itu, bahkan jika tak memiliki kiper sekelas Lev Yashin, maka Uni Soviet bisa kebobolan di menit ke-84, apabila tendangan Ramang tak mampu ditepis Yashin.
Hasil imbang dengan sistim pertahanan yang baik itu bahkan mengundang komentar Presiden FIFA, Sir Stanley Rous. "Baru kali ini saya melihat permainan bertahan yang sempurna," kata Sir Stanley Rous.
Karena belum mengenal adu penalti, maka pertandingan diulang kembali.Â
Uni Soviet yang sudah tahu kualitas Indonesia lebih mempersiapkan taktik dengan baik. Di laga ulangan, Ramang tidak diberi ruang lebih luas, dan ofensivitas Uni Soviet terlihat lebih bervariasi. Alhasil, Uni Soviet unggul telak 4-0, dan membuat Langkah Indonesia terhenti.
Meski kalah, kisah heroik 1956 itu akan selalu dikenang. Kisah yang memperlihatkan profil timnas yang beragam etnis tapi bisa bersatu padu membela Indonesia.
Tan Liong Houw, Si Macan Betawi
Bertahun-tahun kemudian, kisah heroik itu diceritakan kembali oleh Tan Liong Houw, pemain timnas di Olimpiade 1956 itu. Mungkin publik lebih mengenal Ramang, Maulwi Salean ataupun Endang Witarsa, tapi nama Tan Liong Houw juga dapat disebut sebagai pemain penting saat itu.
Dalam laga di Olimpiade 1956, Tan Liong Houw yang lahir pada 26 Juli 1930 ini berposisi sebagai gelandang kiri. Dia jatuh bangun menghentikan eksposivitas para pemain bertubuh lebih besar dari Uni Soviet.
Tan Liong memberikan gambaran perbedaan atau perbandingan fisik antara pemain Indonesia dan Uni Soviet itu dengan menunjukkan jari manis dan kelingking nya.