Saya kira saya tak sendirian ketika berharap Tim Nasional (Tim Nasional) Indonesia akan mampu menghancurkan Singapura di leg pertama semifinal Piala AFF 2020. Alasannya, tentu saja karena penampilan ciamik pasukan Merah Putih di fase grup.
Saya bahkan sudah menyiapkan cemilan sebagai teman nonton, seperti sedang menyaksikan film laga.
Lebih jauh, saya malah sudah membayangkan bahwa coach Shin Tae-yong yang akan menjadi jagoan, dengan mengandalkan ilmu beladiri tradisional asal Korsel, Taekwondo.
Seperti jagoan taekwondo, maka saya membayangkan bahwa jurus andalan yang dipakai Shin  Tae-yong adalah Dollyo Chagi. Saya kira bayak yang pernah melihat gerakan ini, yakni, tendangan ke arah samping dengan memutar telapak pada kaki 45 derajat.
Spektanya adalah tendangan dari gerakan ini bisa secara simultan dilakukan dengan menendang ke arah perut lalu ke kepala. Jika tepat, maka lawan akan rebah alias KO.
Di lapangan hijau, yang terlihat adalah Asnawi Mangkualam dkk akan mendominasi, menyerang lawan dari berbagai arah, dan membobol gawang, setidaknya minimal dua gol.
Apakah itu yang terjadi di laga Indonesia Vs Singapura? Tidak. Dollyo Chagi yang saya impikan itu tak berjalan sempurna dan tak mampu jatuhkan sang lawan, Singapura.
Timnas Indonesia yang sudah tampil sempurna di babak pertama dan mampu unggul lebih dahulu, akhirnya ditahan imbang oleh The Lions dengan skor 1-1.
Apa alasan sehingga strategi Shin Tae-yong, melempen dan tak berhasil? Saya paling tidak dapat menyebutkan 3 (tiga) faktor sebagai penyebabnya.
Pertama, 3-5-2 sempurna di babak pertama, tetapi gagal saat modifikasi di babak kedua.
Sebenarnya menurut saya, Shin Tae-yong seperti biasa sudah memulai laga dengan penuh kejutan dan terkesan jenius dengan pilihan formasinya.
Maksud saya seperti ini. Jika mayoritas Shin Tae-yong akan memainkan 4-2-3-1 sebagai starter, maka kali ini, Shin Tae-yong langsung memasang skema 3-5-2 sedari awal.
Saya jelas semakin optimistis melihat pilihan ini, karena bagi saya 3-5-2 sangat baik untuk menjaga keseimbangan dan memastikan lini belakang terlihat solid.
Bukan itu saja, di formasi ini membuat pergerakan beberapa pemain nampak super sekali.Â
Sebut saja Asnawi Mangkualam yang ofensifitasnya nampak nyata di formasi ini dibandingkan dengan empat bek sejajar yang membatasi dirinya agar tidak sering melakukan overlap.
Gol dari Witan Sulaeman jelas hasil dari pergerakan eksplosif Asnawi, yang kali ini terlihat lebih nyetel dengan formasi ini.Â
Selain Asnawi ada pula versatile Alfeandra Dewangga yang patut diberi pujian. Dewangga memang pemain serba bisa.
Ketika transisi menyerang, Dewangga maju untuk menjadi gelandang bertahan dan membuat Ricky Kambuaya dan bahkan Rachmad Irianto bisa lebih sering menekan lawan dan juga sering berada di kotak penalti lawan.
Cilakanya, di babak kedua---setelah sudah unggul 1-0, ciri khas ini mulai memudar. Saya perlu mengatakan bahwa momen penurunan yang berujung gol balasan dari Singapura ini terjadi ketika Evan Dimas menggantikan Rachmad Irianto.
Saya tentu saja tak menyalahkan Evan Dimas atas gol balasan tersebut, akan tetapi menurut saya, modifikasi itu tampak keliru.
Maksud saya sederhana saja. Â Mempertahankan Rachmad Irianto, lebih membuat timnas dapat tampil defensif daripada memainkan Evan Dimas---dalam tulisan ini, saya sudah menguraikannya.
Memang setelah skor imbang 1-1, timnas kembali tampil agresif, tetapi dengan catatan bahwa serangan balik Singapura lebih membahayakan dibandingkan saat masih ada Rachmad Irianto.
Kedua, pemilihan pemain yang tidak tepat. Hal kedua yang menurut saya perlu disoroti adalah ketidaktepatan Shin Tae-yong dalam memilih siapa pemain yang paling tepat menjadi starter---saya memberi fokus pada penyerang tengah.
Perhatikan saja, di laga ini, Shin Tae-yong lebih memilih Dedik Setiawan daripada Ezra Walian.
Tidak jelas pendekatan apa yang ingin digunakan oleh Shin Tae-yong. Dedik memang penyerang yang menurut saya cerdas, tetapi dari segi positioning dan bahkan kecepatan, masih penuh tanda tanya.
Tak heran, di babak kedua, Dedik digantikan oleh Ezra Walian. Akan tetapi nasib Ezra bahkan lebih buruk. Belum genap 45 menit Ezra sudah digantikan lagi oleh Hanis Saghara. Saya menduga, Ezra juga belum bisa melakukan ide Shin Tae-yong di posisi penyerang tengah ini.
Ide yang diingikan oleh Shin Tae-yong bagi striker, nampaknya terlihat saat Hanis Saghara masuk.
Hanis mau menjemput bola, bergerak terus bergantian posisi dengan para penyerang sayap.
Selain itu, dia juga  berani melakukan shoot dari luar kotak penalti saat ruang mulai terbuka ketika  para penyerang sayap menarik perhatian pemain belakan Singapura.
Artinya, kali ini pemilihan pemain nampak tidak tepat. Semoga di leg kedua tidak terlihat lagi, hal-hal seperti ini. Â
Ketiga, pemain sudah nampak kelelahan. Saya kira, sudah banyak pengamat yang meragukan kesiapan stamina kita ketika terus berupaya bermain dengan intensitas yang tinggi dan dengan pressing terus menerus.
Saya perhatikan, salah satu pemain yang nampak kepayahan adalah Pratama Arhan.Â
Tidak seperti melawan Malaysia, kali ini Pratama Arhan tidak seekplosif sebelumnya. Saya menduga memang karena kelelahan, akibatnya terlihat bukan saja di pergerakan, tetapi kualitas umpan yang diberikan.
Sayangnya, sebagai solusi, saya juga masih bingung siapa yang bisa menggantikan Pratama Arhan jika sudah kelelahan . Di bench masih ada Edo Febriansyah, hanya mungkin penampilan Edo di fase grup tidak memuaskan Shin Tae-yong.
Ketiga hal ini nampaknya perlu menjadi catatan, bahkan menjadi PR yang perlu diselesaikan oleh Shin Tae-yong sebelum kembali menghadapi Singapura di 25 Desember 2021 nanti.Â
Jika dapat dibenahi, saya kira Singapura bukan lawan yang sulit untuk dilewati. Tendangan "Dollyo Chagi" Shin Tae-yong dipercaya akan kembali mematikan. Â Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H