Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jangan Mimpi Timnas Indonesia Seperti Manchester City, Cukup Jadi Juventus 2.16

18 Desember 2021   07:45 Diperbarui: 18 Desember 2021   07:59 2764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua bincang ringan yang mendasari pemilihan judul tulisan ini, dan keduanya bersinggungan dengan kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF 2020.  Pertama, dialog dengan Pak Sidik, surveyor hebat di proyek pembangunan yang sekarang saya awasi.

"Mengapa ya Pak Arnold, kita itu punya ratusan juta penduduk tapi tidak bisa memilih 11 pemain yang dapat bermain cantik seperti Manchester City?" tanya Pak Sidik sambil asyik membidik titik elevasi bangunan melalui alat ukur, Total Station.

Saya yang sedang kepanasan karena terik matahari di Kota Kupang menjawab singkat  "Saya tidak tahu Pak Sidik". Herannya,  Pak Sidik tak melanjutkan maksud dari pertanyaannya itu dan juga tak mempermasalahkan jawaban saya yang terlalu pendek itu.

Tapi biarlah, saya memang tak mau serius menjawab pertanyaan yang terlalu sering ditanyakan itu, karena menurut saya ada ketidaktepatan berpikir soal itu. 

Oh iya, ketidaktepatan berpikir itu berbeda ya dengan kegagalan berpikir. Bedanya dimana? Ah, saya lagi malas menjelaskannya.

Tapi mari kita simak dua hal konflik yang tersurat dari pertanyaan Pak Sidik ini. Pertama,  bagaimana bisa membandingkan jumlah penduduk dengan prestasi timnas. 

Lihat saja China, paling hebatkah mereka, dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia? Teknologi memang hebat, tapi sepak bola, tidak kan? Mungkin saja sedang tidak fokus di bola, begitu juga Indonesia yang memang mungkin sedang multi fokus.

Soal bermain cantik seperti Manchester City juga saya rasa tak adil. Memang ada yang bilang bermimpilah besar, tetapi soal timnas sepak bola kita janganlah. Jangan sakiti Shin Tae-yong dan Evan Dimas cs dengan beban berat karena mimpi atau fanatisme kita terhadap klub kesayangan kita.

Terkadang, kita itu memang tak logis. Pikiran kita kemana, problem timnas kemana. "Main cantik ala Pep Guardiola, kenapa tidak bisa tiki-taka seperti Barcelona dan lain sebagainya". Kalau timnas tidak bisa melakukan seperti yang kita mimpikan, kita menjadi frustrasi. Ya, salah sendiri.

Saya dulu juga begitu. Tapi sudah mulai berubah. Saya berusaha menikmati dan memberi kritik pada porsinya, tanpa bermimpi timnas menjadi seperti Manchester City, Liverpool dan Barcelona. 

Apalagi berharap besar Egi Vikri segera menjadi seperti Lionel Messi atau Mo Salah, karena saya juga sempat kecewa berat dan tak terima ketika Egy hampir tak mendapat klub di Eropa saat diputus kontrak oleh Lechia Gdansk.

Dialog kedua adalah dengan Rizal, rekan kantor sang arsitek yang Juventini tapi anti Max Allegri. "Shin Tae-yong sudah mulai seperti Allegri, bertahan total" kata Rizal sedikit ketus dengan gaya main timnas.

Mengapa Rizal seperti tidak menyukai gaya bermain  Max Allegri? Ya sama dengan Pak Sidik di atas itu, Rizal sangat rindu dan ingin agar Juventus dapat bermain cantik dan menyerang seperti Manchester City.

Rizal sempat senang ketika Juve dilatih Maurizio Sarri, tetapi ketika Sarri kepayahan di Liga Champions dengan permainan yang ingin di-build up seperti Napoli, Rizal terdiam, begitu juga ketika Andrea Pirlo ditunjuk sebagai pelatih dan akhirnya dipecat juga dan digantikan Allegri. Rizal hanya bisa diam.

Oke, Allegri memang sedang kepayahan di Juventus sekarang, tetapi Allegri termasuk salah satu pelatih yang membuat Juventus semakin besar di Italia dan berprestasi ciamik di Eropa dengan menjadi finalis Liga Champions, dua kali pula.

Apa yang dibangun Allegri memang harus diakui tak berfokus pada permainan indah ala Pep Guardiola, tetapi pemaksimalan dari kekuatan dari dalam Juventus sendiri. Apa itu? Gaya bermain pragmatis dengan memuja kemenangan meski harus bermain bertahan.

Puncak kehebatan Allegri dengan Juventus tentu saja saat mampu membawa Juventus menapak partai puncak Liga Champions 2016.

Meski ditaklukkan Barcelona, tetapi pencapaian itu tetap perlu diberikan apresiasi, apalagi saat itu Barcelona dengan Neymar, Messi dan Luis Suarez menjadikan Barcelona sebagai tim terhebat di bawah jagat langit.

Apa kunci keberhasilan Juventus 2.16 itu? Ah, sebenarnya sederhana. Allegri sebenarnya sedang mengeksplorasi kekuatan terbesar Juventus saat itu, yakni, trio BBC, Barzagli, Bonnuci dan Chiellini dalam balutan formasi 3-5-2 yang kuat dan kokoh.

Memang masih ada Marchisio, Vidal dan Pogba di lini tengah yang kuat.

Akan tetapi kehebatan 2.16 itu sudah lama dibangun saat Antonio Conte menemukan dan menjadikan trio BBC sebagai pondasi kekuatan Juve sejak 2011. 

Juve memang tak memiliki penyerang semengkilap klub besar lainnya, tetapi mereka berfokus pada kekuatannya, yakni lini belakang.

Apa yang ingin saya sampaikan sebenarnya? Sebenarnya sederhana saja. Jika kita termasuk saya selama ini melihat timnas berdasarkan pesona attacking football Liverpool serta tiki taka ala Pep Guardiola di Manchester City, mungkin perlu membalikkan cara pikir dengan menyadari bahwa kekuatan timnas adalah di sektor belakang.

Saya jelas terkesima dengan ketenangan Rizki Ridho, Dewangga, Fachruddin saat menahan gelombang serangan Vietnam, dan tentu saja terpukau dengan bagaimana Elkan Baggott dapat melakukan kesuksesan passing lebih dari 80 persen saat menghadapi Laos.

Bukan itu saja, Asnawi dan Pramono Arhan juga nampak eksplosif bergerak dari sisi sayap baik bertahan maupun menyerang ketika menjadi wingback bukan full back. Skuad Garuda terlihat kokoh dan menjanjikan bukan?

Jika demikian, bukankah tak ada salahnya jika di bayangan kita, skuad Garuda akan menjadi tim yang dibangun karena kekuatan lini belakang yang hebat.

Saya percaya pada akhirnya akan membuat para gelandang dan pemain depan akan semakin mengkilap karena tak perlu kuatir menyerang karena sektor belakang yang sudah kuat.  

Artinya jika ini pilihannya. Kita mungkin akan terbiasa melihat timnas kita yang terlihat pragmatis di lapangan. Bermain tak seeksplosif dan indah seperti saat dibesut Luis Milla, tetapi akan lebih banyak meraih hasil positif.

Bukankah kita begitu gembira ketika Evan Dimas cs mampu menahan Vietnam imbang tanpa gol, meski penguasaan bola kita hanya sekitar 30 persen dan menerima gelombang serangan tak henti selama 90 menit? 

Artinya imun hasil positif dalam pragmatisme sepak bola bertahan, sudah siap kita terima, meski mimpi menjadi Manchester City, Liverpool atau bahkan Bayern mungkin masih tetap ada. Tak mengapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun