Sesaat sebelum kematian, Marley menerima Order of Merit dari pemerintah Jamaika dan dianugerahi Medal of Peace dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1980.
***
Di Kingston, Jamaika, kurang lebih 13 tahun setelah kematian Bob Marley lahir seorang anak laki-laki bernama Raheem Shaquille Sterling. Sterling kecil yang belum tahu apa-apa ini, harus berhadapan dengan getirnya kehidupan di Jamaika yang keras.
Di usia dua tahun, Sterling mengalami duka yang mendalam setelah ayahnya tewas dibunuh. Saat itu, ibunya berusaha menguatkan diri, lalu pergi ke Inggris untuk mencari nafkah demi Sterling dan adiknya yang terpaksa dititipkan ke neneknya.
"Ketika berumur dua tahun, ayah saya dibunuh, Hal itu merubah hidup saya. Tidak lama setelah itu, ibuku membuat keputusan berani meninggalkan saya dan adik di Jamaika. Ia pergi ke Inggris agar bisa mendapatkan gelarnya dan memberi kehidupan yang lebih baik" cerita Sterling pada The Player' Tribune.
Tiga tahun kemudian, ibunya memang kembali dan memboyong keluarganya ke London. Di sana ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih toilet di beberapa penginapan kecil untuk mendapat tambahan uang untuk bersekolah dan agar dapat menghidupi keluarganya.
Di tengah kehidupan yang sulit itu, makna bahwa di dalam keadaan terburuk sekalipun pasti ada hal baik di dalamnya terjadi pada seorang Raheem Sterling.
Seorang guru yang ditugaskan membimbing, dan membina anak-anak tanpa ayah melihat bakat Sterling yang memang senang bermain sepakbola.
Sterling lalu meneruskan bakatnya itu dengan fasilitas yang cukup baik hingga di usia 11 tahun dilirik untuk menjadi pemain di akademi beberapa klub besar Inggris, termasuk Arsenal.
Sterling seperti pada umumnya anak-anak yang bercita-cita besar ingin memilih Arsenal, tapi intuisi seorang ibu yang membesarkannya dengan baik itu, diturutinya.
Ibunya mengatakan bahwa di Arsenal, Sterling akan mendapatkan puluhan orang pesaing untuk dapat dipilih masuk ke tim utama, sehingga ibunya menyarankan agar dia memilih tim yang lebih kecil.