Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gertakan Jokowi Menghalau Anies, Mengingatkan Prabowo

7 Februari 2021   23:50 Diperbarui: 8 Februari 2021   00:36 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Antara/Sigid Kurniawan/Pool

Belanda masih jauh, begitu kira-kira jawaban beberapa politisi jika diajak bicara tentang pilpres 2024. Akan tetapi, sebenarnya ini hanyalah pengalihan isu semata, karena di belakang panggung, ancang-ancang untuk itu sudah berjalan.

Tanda bahwa ancang-ancang itu sudah ada ada, tersua melalui dua faktor  yakni lembaga survei yang sudah mulai giat mengadakan survei elektabilitas, lalu di belakang layar, pertemuan-pertemuan kecil para tokoh politik sudah mulai dilakukan.

Keduanya memiliki satu tujuan agar partai politik dan politisi sudah dapat membaca, menjajaki, dan mempersiapkan langkah politik menuju perhelatan pilpres 2024 nanti.

Baru-baru ini, kedua hal ini terjadi hampir berbarengan.

Baca JugaJurus Sakti Jokowi, Kabinet Solid, Demokrat Takluk

Pertama, tentang survei elektabilitas capres.

Pada 18-28 Januari 2021 lalu, Lembaga survei IndexPolitica mengadakan survei, tentang persepsi publik terkait sejumlah isu dan salah satunya mengenai  elektabilitas calon presiden (capres).

Hasil survei itu sudah diliris, dan menempatkan nama Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto di peringkat paling atas.

Dalam survei ini, salah satu pertanyaan yang diberikan adalah 'Jika pemilihan presiden dilakukan pada hari ini, maka siapakah presiden yang Bapak/Ibu/Saudara pilih?”.

Prabowo Subianto unggul dengan 14, 49%, Anies Baswedan 7,1%, Sandiaga Uno 6,2%, Ganjar Pranowo 5,4% dan Agus Harimurti Yudhoyono 5,1%. Dimana Risma? Risma hanya menempati peringkat ketujuh dengan 0,7%.

Kedua, pertemuan antara Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Sebelumnya pertemuan antara Ketum Gerindra dan Anies terendus media, beberapa petinggi Gerindra lekas memberikan penjelasan bahwa itu hanyalah silahturahmi biasa, membahas kedaulatan NKRI dan pangan.

Apakah memang benar itu hanya silahturahmi biasa? Bisa jadi, hanya dalam politik, jawaban normatif itu bisa berarti sebaliknya. Wajar saja muncul dugaan demikian, di tengah pandemi covid-19 dengan tugas Menhan dan Gubernur yang seabrek untuk apa bersilahturahmi.

Patut diduga, pertemuan ini juga berhubungan dengan sikap Gerindra yang selaras dengan arahan Jokowi, yakni menolak revisi UU Pemilu, yang berarti membuat Anies tak dapat bertarung di 2022 nanti.

Perlu Baca : Menerka Arah Politik Ping-Pong untuk Anies

Mungkin saja, Gerindra ingin menjelaskan posisi politik mereka terhadap Anies, dan apa rencana politik yang dapat diambil sesudahnya.

Lalu apa yang terjadi kemudian? Isu reshuffle jilid kedua dari Istana muncul di awal Februari ini.

Dari media dijelaskan bahwa isu adanya reshuffle jilid kedua Kabinet Indonesia Maju ini mulanya diembuskan Ketum JoMan Immanuel Ebenezer yang menyebut bahwa paling tidak akan ada 3 orang menteri yang akan diganti.

Kabar burung beredar, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menjadi dua dari beberapa menteri yang akan diganti itu.

Bagaimana melihat isu reshuffle? Patut diduga ini gertakan Jokowi untuk manuver dari para pembantunya, siapapun dia, bisa Syahrul Limpo (yang dikaitkan dengan Nasdem yang sempat mendukung revisi UU dan berubah haluan), lalu Moeldoko yang dikaitkan dengan kisruh dengan Demokrat dan bisa saja terhadap Prabowo yang melakukan pertemuan dengan Anies.

Mengapa tidak? Jokowi periode kedua adalah Jokowi yang berbeda dari periode pertama. Selain beban politiknya sudah berkurang, Jokowi juga mengalami persoalan pelik yang mengglobal yakni pandemi.

Jika Santai, Bisa Dibaca : Manuver Cerdik Demokrat, Keuntungan Politik Setengah Hati AHY

Inilah yang membuat Jokowi tentu akan sangat terganggu, ketika dia sedang mengarahkan semua pembantunya untuk fokus menangani pandemi, tetapi ternyata masih ada satu dua orang yang bermanuver secara politik.

Loyalitas para pembantu adalah sebuah harga mati bagi Jokowi. Bersilahturahmi politik dengan Anies yang dilakukan oleh Prabowo, bisa jadi tidak bisa diterima oleh Jokowi.  Jika tak loyal lagi, reshuffle adalah cara paksa untuk menendang mereka keluar.

Jokowi tak pandang bulu soal ini. Anies pernah digantinya, dan Susi Pudjiastuti juga tidak dipakainya, artinya tak ada perkecualian untuk Prabowo, Moeldoko apalagi Syahrul Limpo.

Meskipun biaya politik tentu lebih besar jika mengganti Prabowo, yang artinya Prabowo tak diganti, namun gertakan reshuffle ini, seperti menjadi reminder bagi para menteri dari partai koalisi pendukung, agar berhati-hati dalam gestru politik mereka.

Gertakan ini juga tentu dengan sendirinya menghalau Anies. Sesudah ini, sepertinya parpol atau politisi untuk berpikir dua kali untuk bertemu Anies.

Arahan Jokowi tentang mendukung pilkada 2024 berisi sebuah maksud baik, agar ketika negara sedang fokus pada pandemi ini, janga ada pergerakan politik dari parpol pendukung yang kontraproduktid bagi gerak pemerintah menangani pandemi.

Mungkin maksud Jokowi juga, Anies mungkin jangan terlalu sibuk bersilahturahmi politik, angka covid-19 di DKI yang belum turun-turun seharusnya menjadi prioritas daripada gerilya sana-sini.

Referensi

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun