Mungkin karena itulah akibat persoalan biaya dan lahan tersebut, maka konsep "menanam air" ini disandingkan dengan gerakan menanam pohon dalam konsep pelestarian.
Untuk gerakan ini, sebenarnya sudah lebih serius dilakukan. Misalnya program jangka panjang untuk mengatasi masalah air bersih maka Pemkot Kupang mencanangkan program tanam pohon dengan penjabarannya; setiap keluarga wajib menanam satu pohon dan untuk ASN yang sudah berkeluarga wajib menanam dua pohon.
Hanya persoalan lain muncul ketika pohon "dipaksa" ditanam? Bagaimana cara memelihara pohon tersebut, bukankah perlu ada penyediaan air untuk pemeliharaan pohon yang ditanam kan? Boro-boro air untuk menumbuhkan atau memelihara pohon, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih sangat kurang.
Di balik kompleksitas persoalan ini, pemenuhan air untuk kebutuhan sehari-hari khususnya pada musim kemarau akhirnya lebih menjadi prioritas.
Misalnya, pada bulan November 2020 di sekitar perumahan warga di dekat rumah saya telah dibuat sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari. Urgensi pemenuhan air sehari-hari membuat sumur bor menjadi solusi jangka pendek dan semakin marak.
Hanya persoalannya, solusi melalui sumur bor juga terkesan ringkih. Sampai kapan air tanah ini akan terus tersedia dan mengalir keluar melalui sumur bor? Bukankah suatu saat akan kering? Apalagi jika tidak ada program regenerasi jangka panjang yang dilakukan secara serius.
Tanpa keseriusan melakukan program "menanam air" ini dalam proyek jangka panjang dan berkelanjutan niscaya akan timbul problem yang lebih besar di masa depan.
Di pekarangan rumah, syukurlah pohon akasia dan sawo sudah tumbuh semakin besar. Saya berharap esok hujan dapat turun lebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H