Malam 5 Januari 2021 ini, suhu udara terasa panas. Saya tidak bisa memastikan bagaimana cuaca karena langit terlihat gelap, bintang tak banyak terlihat. Mengapa saya harus memastikan hal ini, karena biasanya kalau malam terasa panas maka hujan akan turun. Tapi entah kapan, hujan memang penuh misteri di Kota Kupang,NTT.
Panas di malam hari memang tak berarti hujan. Begitu juga dengan langit Kupang yang jika meminjam judul sebuah lagu bahwa tak selamanya mendung itu kelabu, begitu juga langit kupang, tak selamanya mendung bahkan pekat itu berarti akan hujan. Padahal sudah Januari.
Menurut prediksi BMKG di Januari ini akan masuk puncak curah hujan. Tetapi belum terlihat hujan akan tampak terus menerus akan turun. Mungkin saja pada tahun ini curah hujan juga akan rendah di Kupang seperti yang terjadi pada akhir tahun 2019 lalu.
Beberapa tahun lalu, biasanya hujan deras akan mulai turun waktu natal dan pada tahun baru, namun pada akhir tahun 2020, hujan hanya turun beberapa hari sebelum 25 Desember. Sesudah itu Kota Kupang menjadi panas terik, dan baru tadi siang kembali hujan mesti tidak merata di beberapa tempat di Kota. Ada yang gerimis, tapi ada yang lumayan deras.
Persoalan yang paling besar di balik curah hujan yang rendah ini sebenarnya bukan soal panas terik, tetapi kekuatiran bahwa curah hujan yang rendah akan membuat musim kemarau semakin panjang dan regenerasi air akan terhambat.
Saya akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana soal regenerasi air ini di dalam sebuah frasa "krisis air" di Kota Kupang. Curah hujan yang kecil dipercaya berpengaruh kepada pasokan air tanah yang ada, sehingga ketika air tanah semakin dieksploitasi tanpa daur ulang atau isi ulang dari air hujan, maka krisis air di Kota Kupang akan semakin memburuk di masa depan.
Di tengah kekuatiran ini, konsep "menanam air" kembali dimunculkan dan ingin digalakkan Pemerintah Kota sejak 2017. Menanam air ini adalah konsep sederhana untuk menangkap air hujan agar terserap ke dalam tanah.
Dalam konsep ini, ketika hujan terjadi maka air hujan yang pada dasarnya merupakan air bersih berusaha dialirkan ke dalam tanah melalui sumur resapan, resapan biopori atau berbagai tempat penampungan air lainnya seperti danau, situ, waduk, ataupun sungai.
Apakah program ini berjalan dengan baik? Dari landasan teori mungkin dapat dipahami tapi mimpi "menanam air" ini jika dilihat dari taraf aplikasinya maka menemui berbagai kendala. Awalnya memang timbul masalah dari konsep program dan pembiayaan, namun ternyata berkembang menjadi persoalan pembebasan lahan.
Di sebuah daerah di pinggiran kota bahkan timbul penolakan dari masyarakat dalam hal pembebasan lahan untuk pembuatan bendungan.
Sebenarnya pembuatan sumur resapan dapat diusulkan melalui dana kelurahan, namun persoalannya di kelurahan tersebut juga tidak tersedia lahan untuk "menanam air".
Mungkin karena itulah akibat persoalan biaya dan lahan tersebut, maka konsep "menanam air" ini disandingkan dengan gerakan menanam pohon dalam konsep pelestarian.
Untuk gerakan ini, sebenarnya sudah lebih serius dilakukan. Misalnya program jangka panjang untuk mengatasi masalah air bersih maka Pemkot Kupang mencanangkan program tanam pohon dengan penjabarannya; setiap keluarga wajib menanam satu pohon dan untuk ASN yang sudah berkeluarga wajib menanam dua pohon.
Hanya persoalan lain muncul ketika pohon "dipaksa" ditanam? Bagaimana cara memelihara pohon tersebut, bukankah perlu ada penyediaan air untuk pemeliharaan pohon yang ditanam kan? Boro-boro air untuk menumbuhkan atau memelihara pohon, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih sangat kurang.
Di balik kompleksitas persoalan ini, pemenuhan air untuk kebutuhan sehari-hari khususnya pada musim kemarau akhirnya lebih menjadi prioritas.
Misalnya, pada bulan November 2020 di sekitar perumahan warga di dekat rumah saya telah dibuat sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari. Urgensi pemenuhan air sehari-hari membuat sumur bor menjadi solusi jangka pendek dan semakin marak.
Hanya persoalannya, solusi melalui sumur bor juga terkesan ringkih. Sampai kapan air tanah ini akan terus tersedia dan mengalir keluar melalui sumur bor? Bukankah suatu saat akan kering? Apalagi jika tidak ada program regenerasi jangka panjang yang dilakukan secara serius.
Tanpa keseriusan melakukan program "menanam air" ini dalam proyek jangka panjang dan berkelanjutan niscaya akan timbul problem yang lebih besar di masa depan.
Di pekarangan rumah, syukurlah pohon akasia dan sawo sudah tumbuh semakin besar. Saya berharap esok hujan dapat turun lebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H