Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jenderal Ahmad Yani, Olokan Nama Kompas dan PKI

28 Juni 2020   18:10 Diperbarui: 28 Juni 2020   18:13 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi : Kompas.com

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Kompas yang terbit pertama kali di Jakarta pada 28 Juni 1965 ini memiliki kaitan unik dengan pahlawan revolusi, Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani. Bagaimana bisa demikian?

Diceritakan dalam salah satu buku biografi tentang Jakob Oetama, bahwa Kompas lahir berkat ide Jenderal A. Yani. Suatu ketika A. Yani yang menjabat seabgai Menteri Panglima Angkatan Darat mengusulkan agar kalangan Katolik mendirikan sebuah harian dan surat kabat pada tahun 1964.

Ini bisa dianggap sebagai sebuah saran politik, karena A. Yani merasa bahwa kalangan Katolik dirasa mampu untuk menemukan sebuah acara yang bisa mengimbangi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada waktu itu. Mendirikan sebuah surat kabar dinilai menjadi langkah tepat untuk menandingi kekuatan PKI yang waktu itu kuat dalam narasi.

Jika ditelisik, Kompas memang bukan untuk menandingi PKI secara langsung, tetapi sebuah ide untuk membangun koran guna menandingi surat kabar Harian Rakjat yang giat menjadi corong PKI saat itu.

Ide ini lalu dibahas oleh P.K Ojong, Jakob Oetama, Frans Seda, p Swantora, RG Doeriat dan R. G Doeriat dengan melibatkan organisasi seperti Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Perhimpuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan lainnya.

Pertemuan ini tidak melahirkan Kompas terlbih dulu, tetapi Bentara Rakyat, media yang diterbitkan kalangan Katolik dengan ketuanya adalah Ignatius Joseph Kasimo, didampingi oleh Frans Xaverius Seda yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perkebunan sebagai wakil ketua.

Jenderal A. Yani lalu terus mendorong dan menganjurkan agar media ini mesti berani beradu wacana dengan Harian Rakjat, sebuah harapan yang tidak mudah dilakukan karena situasi politik yagn terus memanas.

Bahkan syarat  izin operasi "dipersulit" dengan harus mendapatkan 3000 tanda tangan pelanggan terlebih dahulu. Memiliki tekad yang bulat, maka dikomandoi Frans Seda, tanda tangan itu mayortas didapatkan dari guru sekolah, dan anggota Kopra Primer di tiga kabupaten di Flores, asal Frans Seda.

Setelah izin beres, menjelang terbit, Frans Seda melapor ke Soekarno tentang kesiapan Bentara Rakjat. Dari pertemuan ini, Bung Karno nampak tidak sreg dengan nama Bentara Rakjat dan meminta menggantinya dengan Kompas. 

Ada yang menyebut pilihan untuk menggnti nama agar membedakan karena penggunaan istilah "Rakjat" pada saat itu dikonotasikan merujuk pada PKI, yang saat itu memang kerap menggunakan kara "rakyat" dalam setiap aksinya.

Akan tetapi alasan Soekarno sebenarnya sederhana sekali. Bung Karno ingin agar Kompas dapat menjadi penunjuk arah. Koran ini dapat menjadi pencerah atau penunjuk arah menuju kebaikan dan kebenaran bagi rakyat.

"Saya usul namanya Kompas, yang artinya penunjuk arah" -- Soekarno.

Akhirnya usulan Bung Karno diterima dan Bentara Rayat dijadikan nama yayasan yang menerbitkan Kompas. Frans Seda sempat bercerita lucu bahwa pada saat itu ada orang Medan yang marah karena nama Kompas identik dengan ngompas yang artinya memeras.  

"Olok-olokan" nama Kompas berlanjut,  karena didirikan oleh Partai Katolik, Kompas lalu diplesetkan menjadi Komando Pastor, atau Komando Pak Seda, merujuk pada Frans Seda tentunya.

PKI juga ikut dalam olok-olokan ini ternyata. Mesara Kompas sebagai pesaing, di awal penerbitan PKI menghasut masyarakat dan mengatakan bahwa Kompas merupakan singkatan dari "Komt Pas Morgen", yang artinya Kompas yang akan datang  pada keesokan harinya karena sering telat terbit.

Koran Kompas akhirnya terbit dengan tiras 4.800 eksemplar. Pada awalnya dalam mode mingguan dengan delapan halaman dan digunakan sebagai percobaan untuk mengetehaui atensi dari masyarakat. 

Cerita tentang kekurangan dana juga menyertai pada awal penerbitan, tetapi Kompas tetap berusaha untuk eksis di awalnya.

Peristiwa G30s/PKI meledak tiga bulan setelah Kompas terbit, Kompas tak takut, bahkan menolak ketika diminta untuk menyatakan kesetiaannya pada PKI. Para pendiri, PK Ojong dan Jakob Oetama tidak mau menandatangani kesepakatan pro-PKI. 

Akan tetapi situasi sulit membuat Kompas semakin kuat. Sempat dilarang terbit selama seinggu karena situasi yang tidak kondusif,  Kompas kembali terbit dengan jumlah eksemplar hampir dua kli lipat yakni 8.000 eksemplar dan sesudah itu menembus hingga 23.268 eksemplar dan akhirnya terus berkembang dengan menjadi raksasa media nasional.

****

Secarut cerita sejarah tentang Kompas di awal ini seperti mengingatkan bahwa itulah alasan Kompas hadir di Indonesia. Kompas ingin menjadi media yang menyuarakan suara rakyat dan terus menjaga semangat nasionalisme anak bangsa menghadapi berbagai ancaman.

Usia 55 tahun adalah usia dewasa. Sejarah menunjukan tugas sebagai "penunjuk arah" masih relevan di jaman ini.  Semboyan Kompas dahulu yakni sebagai "Amanat Hati Nurani Rakyat" mengingatkan Kompas hadir memang untuk itu.

Persoalan bangsa, bukan saja secara politik tetapi humanis terus dikerjakan Kompas dalam segala bentuk pemberitaannya. Meski, yang perlu selalu dijaga adalah "raksasa" seringkali terancam untuk terbelenggu oleh kemapanan.

Romo Sindhunata yang pernah menuliskan tentang ini dengan lugas. Sindhunata mengatakan bahwa ketika semangat dahulu yang murni itu  ditaruh di ladang kaum borjuis, maka itu tidak akan tumbuh lagi, stuck.

Ketika mandeg,  maka cita-cita secara sosial, kultural akan dengan mudah diinjak-injak atau semakin hari semakin pudar, padahal di situlah Kompas bisa tumbuh untuk terus menjadi inspirasi dan bahkan kebaruan.

Harapannya masih besar bagi Kompas, dalam kondisi yang tentu ke depannya tidak menjadi lebih mudah, yakni; Kompas tetap bergerak, terus berani untuk menggugat, mengkritisi dan mengubah sesuatu demi kebaikan bangsa.

Selamat ulang tahun Kompas ke-55.

Referensi :

Buku "Jakob Oetama; Bekerja dengan Hati"

Buku " Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun