Banyak yang menganggap bahwa ini adalah sebuah pernyataan yang emosional dan dapat dikatakan wajar.
Bayangkan saja, bagaimana tidak, perjuangan tak kenal lelah memperjuangkan Prabowo, seperti sia-sia ketika Prabowo mau “berdamai” dengan Jokowi.
Setelah itu, seharusnya politik emosional itu mencair, karena kalau tidak maka bisa pusing tujuh keliling melihat Prabowo ternyata mau menerima menjadi Menteri Pertahanan di Kabine Jokowi.
Adem sebenarnya melihat tak ada pergesekan politik yang begitu tajam lagi antara kubu Prabowo dan Jokowi setelah “persatuan” itu terjadi.
Lalu mengapa narasi pengkhianat ini muncul lagi terhadap Prabowo?
Saya menduga tentu ada kepentingan politik yang terselubung di baliknya. Bisa saja untuk membuat elektabilitas Prabowo semakin menurun, karena Prabowo sekarang berada di puncak dari berbagai survei.
Narasi pengkhianat minimal dapat mengganggu konsentrasi Prabowo saat ini, yang terlihat nyaman. Entahlah untuk mengundang aksi reaksi atau apa, kita perlu menunggu lebih lanjut.
Narasi pengkhianat juga bisa disebabkan karena masih banyak yang belum move on. Tanpa menyebutkan partai atau kelompok tertentu, tetapi karena seperti ditinggalkan Prabowo bagi penggemar fanatik, sakitnya itu disini---lama.
Ditinggalkan Prabowo itu bisa saja bukan ditinggalkan secara fisik saja, tetapi juga lepas ludes dari janji-janji atau kesepakatan yang pernah dibuat bersama.
Ini bahkan lebih menyakitkan dari cerainya suami istri , karena masih ada harta gono gini. Ini pergi mungkin tanpa berbekas. Artinya jika memang tak bisa move on, akan lebih sulit melupakan.
***