Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Andi Taufan dan Pengunduran Diri yang Terlambat

24 April 2020   19:07 Diperbarui: 24 April 2020   19:11 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lewat surat terbuka, Staf Khusus (Stafsus) Milenieal Presiden Jokowi, Andi Taufan Garuda Putra secara resmi mengundurkan diri.   

"Perkenankan saya untuk menyampaikan informasi pengunduran diri saya sebagai Staf Khusus Presiden Republik Indonesia yang telah saya ajukan melalui surat pada 17 April 2020 dan kemudian disetujui oleh Bapak Presiden," tulis Andi dalam surat itu, dilansir dari Kompas.com. (24/4/2020).

Kompas.com memuat berita ini pada pukul 11:24 WIB. Baru sesudah jam makan siang saya baru membaca berita daring tersebut, lalu terlibat diskusi pendek dengan seorang teman kantor yang bernama Hary.

"Bro...Andi Taufan mengundurkan diri" ucap saya memulai percapakan siang tadi.

"Ooo...Andi Stafsus Milenial itu?" tanya Hary dengan nada datar.

"Amartha?" kata Hary lagi.

"Ya, itu dah..." 

Hary dan saya lantas melanjutkan pekerjaan. Saat ini, nampaknya topik pengunduran diri Andi ini nampaknya tidak menarik baginya. 

Berbeda dengan responnya, saat kasus Amartha ini muncul di permukaan, beberapa hari lalu.

"Bro...ancur binasa, Stafsus Jokowi main kirim surat ke camat" kata Hary saat itu.

"Siapa? Billy, Belva atau Putri?" balas saya waktu itu, seantusias Hary.

"Andi..."

"Andi yang mana?"

Jujur sosok Andi ini memang tidak seterkenal ketiga nama yang saya sebutkan diatas. Rasanya baru populer saat ini, saat tersandung kasus maladministrasi surat ke camat bercap Sekab.

Baca Juga : Istana Marah Besar, Stafsus Dipecat atau Mengundurkan Diri?

Saya dan Hary lantas berdiskusi tentang Seskab, tugas Stafsus bahkan hak bulanan mereka yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 144 Tahun 2015, dikatakan Staf Khusus Presiden akan mendapatkan hak bulanan sebesar Rp 51 juta. Wow.

"Ini Jokowi harus pecat dia!" kata Hary.

"Jangan...biar dia mengundurkan diri..." balas saya berusaha lebih tenang.

"Mana-mana sa...yang penting out secepatnya" kata Hary.

Andi memang akhirnya meminta maaf.  Namun, Hary termasuk yang merasa bahwa permintaan maaf Andi tidaklah cukup, harus ada pengunduran diri.

Alasan Hary cukup cerdas terdengar. Bukan soal kesalahan saja yang dilakukan, tetapi pertaruhan citra milenial di tangan mereka.

Di pundak mereka terbeban tuntutan untuk melakukan cara yang out the box---bukan soal pekerjaan mereka sehari-hari saja, tetapi termasuk dengan iktiar untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang diperbuatnya.

Menurut Hary, mengundurkan diri adalah pilihan terbaik jikalau Andi ingin menjadi role model bagi generasi mendatang.

Memang tak mudah di negeri ini, orang di sekitar lingkaran mau mengundurkan diri, memang belum jadi budaya. Andi bisa menjadi orang pertama yang memulainya.

Hary lalu menunggu. Satu hari, dua hari, tiga hari, Andi belum mengundurkan diri.

Bahkan penantian agar Andi mengundurkan diri itu dikejutkan dengan pengunduran lebih dahulu CEO Ruangguru Belva Devara yang ingin mencegah agar konflik kepentingan Ruangguru dengan Kartu Prakerja tidak berlarut menjadi polemik di tengah masyarakat.

Hary jelas bersorak atas pengunduran Belva.

"Ini baru milenial. Bukti bahwa anak muda berpikir terbuka dan tidak buta terhadak kritik publik karena  dekat dengan kekuasaan" kata Hary sedikit berceramah.

Akan tetapi, sesudah itu Hary nampak kecewa saat membaca berita bahwa Ruangguru adalah perusahaan milik Singapura, dan tuduhan miring lainnya.

"Payah...." kata Hary suatu kali.

"Apa?" tanya saya.

"Itu...Stafsus".

Ini mungkin adalah alasan sehingga pengunduran diri Andi hari ini tidak menarik lagi bagi Hary. Bahkan, pengunduran diri Andi ini dapat dianggap sebagai sebuah hal yang terlambat.

"Seharusnya dia bisa lebih cepat meminta out dibandingkan Belva," komentar Hary sebelum kami pulang.

"Mungkin telat  mikir" jawab saya sekenanya. 

"Mungin...." balas Hary. Kami lalu kompak tersenyum.

Mungkin benar kata Hary, Andi terlambat mengundurkan diri.  Seharusnya dia bisa jadi orang pertama yang memberi contoh, bukan Belva, karena kasusnya lebih dahulu terangkat ke publik.

Tapi sudahlah. Tak ada kata terlambat untuk sebuah perbuatan baik kan?.

Artinya, berikan saja apresiasi untuk Andi,  Stafsus milenial kedua Jokowi  yang akhirnya mengundurkan diri. Kalau dapat berikan juga doa.

Doa untuk apa? Doa agar  niat tulus Andi yang berharap selepas  pengunduran diri ini, Andi  akan mengabdi secara penuh pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama yang menjalankan usaha mikro dan kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun