Hari Rabu kemarin saya ke pasar. Â Pasar Inpres namanya, sepertinya pasar Inpres ini adalah pasar tradisional terbesar di Kupang. Saya pergi kesana sekitar jam 8 pagi pake sepeda motor. Sekitar 7 menit dari rumah, biasanya 10 menit, tapi karena Covid-19 jalanan Kupang juga sepi, lengang.
Sedihnya, di rabu itu, bukan saja jalanan, pasar juga sepi. Ya, sepi bukan seperti di kuburan lah, tapi tidak seramai biasanya. Indikasinya adalah jalan masuk ke dalam pasar yang ukuran semobil seperempat itu akan padat merayap di jam begitu. Namun kali ini sepi.
Jika ramai, sepeda motor saya biasanya harus berhenti beberapa kali untuk menghindar kaca spion motor menyenggol bokong besar mama-mama. Jika itu terjadi, maka namanya musibah. Saya lebih memilih tidak berada di situasi tersebut daripada jika menyenggol preman pasar.
Kalau dengan preman pasar tinggal bilang " jang marah kaka"...maka aman, lagian mereka butuh tambahan uang parkir, jika dengan mama-mama, maka umpatan "Bab*.." bisa keluar dengan probabilitas 60 persen, belum lagi jika mama itu  ada masalah di rumah, maka itu keranjang di tangannya bisa langsung menempel di helm penyenggol, pelampiasan baginya dan sial bagi yang kena.
Selain jalanan yang lapang itu, salah satu indikasi lain adalah pedagang pisang, tempat favorit saya juga sepi. Di lapak pisang kurang lebih sepanjang 10 meter itu, biasanya paling tidak akan ada 6 atau 7 pembeli yang sedang menawar sekaligus membeli pisang.
Tapi kali ini hanya saya sendirian. Ini situasi paling sulit, mungkin dalam hidup. Ada sekitar 5 atau 6 pelapak disitu. Mau beli dimana? Kurang enak hati. Semua wajah mengiba pada saya. Akhirnya saya memilih ke pedagang pisang seorang ibu yang berumur sekitar 50-an yang  sedang melamun.
"Mama...pisang kapok satu berapa?..."
"5000..."
"Pung murah lai" kata saya. Biasanya sih 10 ribu, jika ditawar palingan 7 ribu, itu pun dengan wajah muram pedagang , orang Kupang bilang "muka asam".
"Sepi nah kaka...."
Pisang kapok atau kapuk Kupang untuk membuat pisang goreng ini, menurut saya mungkin terenak di dunia, manis dan gurih kalau digoreng.Â
Saya kadang-kadang heran, untuk pisang atau jagung yang tumbuh di tanah timor ini, rasanya memang spesial, beberapa teman dari Jawa juga mengakuinya. Mungkin itulah keadilan Tuhan, Â di tanah yang kering ini, pisang itu tumbuh dengan memberikan kualitas terbaiknya.
Kembali ke pasar yang sepi.
Saya sebenarnya mau tanya begini pada mama penjual pisang ini, "Kalo pisang son laku, kasi makan bab* ko?" .Â
Sykurlah sebelum saya mengatakan demikian, Â malaikat maut seperitnya lebih cepat menegur saya, agar jangan mengatakan demikian di pedagang yang terlihat sedang berduka karena dagangannya sepi.Â
Kalau tidak maka mama tua penjual ini mungkin akan mengangkat satu tandan pisang, lalu dihantam di kepala saya, dengan bonus semburan sirih pinang dari mulut.
Di sudut lain dari jejeran pelapak pisang  itu, ada tiga bapak-bapak setengah bugil sedang asyik bermain catur. Gaya mereka seperti Kasparov melawan Karpov, sesekali sambil menggaruk-garuk kepala. Nah itu mungkin gaya Karpov jika main di tengah pasar.Â
Lalu batin saya "Mainlah sampe malam om , biar lupa, bahwa dagangannya tidak laku".
Akhirnya saya pulang. Selain pisang, saya juga membeli kelapa, Â dan ubi atau singkong, tahulah apa yang akan dimasak kan?
Sesampai di rumah, saya masih berpikir, sampai kapan pasar itu sepi ya. Sedih juga memikirkannya.
Sebenarnya logikanya adalah jika orang butuh makan, pasar tidak akan sepi. Tetapi memang ada persoalan, misalnya pisang kapok itu.
Pelanggan terbesar mereka mungkin adalah penjual gorengan pinggir jalan, tapi sekarang sudah amat sepi dan berpotensi membuat kerumunan, sehingga para pedangang gorengan itu juga menghentikan usahanya, jadinya pisang-pisang itu tidak dibeli.
Itu baru pisang, bagaimana dengan rumah makan ketika orang-orang lebih memilih masak di rumah seadanya. Apalagi perkantoran juga tidak beraktivitas. Memang ada efek domino kemana-mana gara-gara situasi di tengah wabha covid-19 ini.
******
Kamis sore. Keadaan berubah 180 derajat, ada hoaks bahwa orang tidak boleh keluar rumah dari Jumat sampai Minggu karena Covid-19 akan memuncak atau apalah namanya.
Syukur kepada pembuat hoaks, pasar dan lapak pisang itu ramai lagi dengan para pembeli, bahkan sangat ramai.Â
Saya kebetulan juga mendapat terusan hoaks tersebut di WA. Dibuat dengan cukup rapi, seperti poster bukan hanya teks. Kamis sore hingga malam, terjadi panik , pasar menjadi ramai. Para pedagang pisang itu keheranan, ada apa ini? Tapi ya sudahlah, mereka juga bergembiran karena pisang-pisang itu laku lagi.
Hoaks 3 hari harus di rumah itu, memang membawa berkah bagi para pedagang di pasar.
Setelah saya bincang-bincang dengan beberapa orang tentang hoaks tersebut, mereka mengatakan hoaks itu ada sisi positifnya, agar orang Kupang bisa khusyuk tinggal di rumah merenungkan Jumat Agung hingga merayakan minggu paskah.
Hari ini, seusai ibadah paskah di rumah, saya ke pasar lagi, Â ke tempat para pedagang pisang itu. Mama-mama yang melamun itu masih melamun, bapak-bapak juga masih asyik main catur. Kali ini gayanya beda, menepuk-nepuk kepalanya, kayak Utut Adianto melawan Susanto Megaranto. Ah, sudahlah daripada mereka harus melamun, lalu gila sendiri.
"Pisang berapa mama?"
"7000 kaka..."
"Wee..su naik lai ee..?"
"Iya kaka, ko ini pisang baru, Kamis kemarin pisang amper habis.."
"Nah, sekarang...?"
"Sepi lai..., taulai kenapa manusia dong ramai-ramai beli hari kamis, bilang ada suruh tinggal di rumah ko apa, hanya orang pasar bilang itu hoaks".
"Jadi pingin hoaks lai...biar ramia ?" tanya saya becanda.
Mama itu terseyum, tersungging giginya yang memerah, tanda lagi makan sirih pinang semoga tidak disemburnya.
"yang bae,,,yang mana sa kaka..." ujar mama itu sambil memasukan pisang ke dalam kantong plastik hitam.
Setelah kantong plastik dikaitkan ke sepeda motor. Pisang kapuk itu sudah  on the way ke rumah bersama saya. Jalanan pasar masih lengang, tidak terlihat mama-mama bokong besar lewat.Â
Di tempat parkir, ada preman pasar dan tukang parkir sedang  bercanda, melihat saya, mereka berusaha akrab, menyapa.
"Kaka parkir ko?"
"Sonde kaka..ini mau pulang"
Karcis di tangan mereka terlihat masih tebal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H