Saya kadang-kadang heran, untuk pisang atau jagung yang tumbuh di tanah timor ini, rasanya memang spesial, beberapa teman dari Jawa juga mengakuinya. Mungkin itulah keadilan Tuhan, Â di tanah yang kering ini, pisang itu tumbuh dengan memberikan kualitas terbaiknya.
Kembali ke pasar yang sepi.
Saya sebenarnya mau tanya begini pada mama penjual pisang ini, "Kalo pisang son laku, kasi makan bab* ko?" .Â
Sykurlah sebelum saya mengatakan demikian, Â malaikat maut seperitnya lebih cepat menegur saya, agar jangan mengatakan demikian di pedagang yang terlihat sedang berduka karena dagangannya sepi.Â
Kalau tidak maka mama tua penjual ini mungkin akan mengangkat satu tandan pisang, lalu dihantam di kepala saya, dengan bonus semburan sirih pinang dari mulut.
Di sudut lain dari jejeran pelapak pisang  itu, ada tiga bapak-bapak setengah bugil sedang asyik bermain catur. Gaya mereka seperti Kasparov melawan Karpov, sesekali sambil menggaruk-garuk kepala. Nah itu mungkin gaya Karpov jika main di tengah pasar.Â
Lalu batin saya "Mainlah sampe malam om , biar lupa, bahwa dagangannya tidak laku".
Akhirnya saya pulang. Selain pisang, saya juga membeli kelapa, Â dan ubi atau singkong, tahulah apa yang akan dimasak kan?
Sesampai di rumah, saya masih berpikir, sampai kapan pasar itu sepi ya. Sedih juga memikirkannya.
Sebenarnya logikanya adalah jika orang butuh makan, pasar tidak akan sepi. Tetapi memang ada persoalan, misalnya pisang kapok itu.
Pelanggan terbesar mereka mungkin adalah penjual gorengan pinggir jalan, tapi sekarang sudah amat sepi dan berpotensi membuat kerumunan, sehingga para pedangang gorengan itu juga menghentikan usahanya, jadinya pisang-pisang itu tidak dibeli.