Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Pelaksana Tugas sementara Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bicara, lebih tepatnya memang mencurahkan isi hati, curhat atau unek-unek.
Luhut memang agak lebih ramai diberitakan dalam beberapa hari ini, khususnya berkaitan dengan kisruhnya dengan Said Didu, mengenai kontroversi video Didu berjudul 'MSD: Luhut Hanya Pikirkan Uang, Uang dan Uang'.
Setelah Said Didu membuat surat klarifikasi, melalui Juru bicaranya, Jodi Mahardi, Luhut memikirkan untuk terus meneruskan proses hukum atas tuntutan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diberikan ke Said Didu.
Banyak orang yang bertanya? Benarkah itu sikap Luhut? Akhirnya, di tengah semua kisruh itu, Luhut "bicara", curhat melalui sebuah tulisan di akun Instagramnya yang diberi judul "Setiap Tindakan Ada Konsekuensinya".Â
Sebuah tulisan cukup panjang dengan 9 paragraf tersebut cukup komprehensif menggambarkan suasana hati Luhut dan cara pandangnya terhadap situasi yang sedang dialaminya.
Jika dibaca dengan tuntas  paling tidak curhatan hati Luhut ini memuat 3 (tiga) poin yang dapat dimaknai lebih jauh.
Pertama, Luhut ingin menjelaskan posisnya bahwa ketika diberikan amanat untuk  menjadi pejabat publik, maka  apa yang terbaik untuk masyarakat Indonesia harus diwujudkan, dengan berbagai macam risiko dan konsekuensi yang harus dihadapi.
Untuk poin ini, Luhut memulai dengan cerita tentang harga sebuah patriotisme. Lebih dari 30 tahun hidup Luhut dihabiskan sebagai seorang prajurit, menghadapi medan perang tersulit dan melihat anak buah meninggal di  medan perang.
Saat itulah, Luhut menuliskan sebuah frasa yang menggugah,Â
"Saya baru disadarkan saat kehilangan prajurit saya di daerah operasi, pada tahun 1975. Ternyata manusia memang terdiri dari darah daging dan tulang, juga emosi".
Sebagai prajurit, Luhut seperti ingin mengatakan bahwa kepentingan negara memang harus nomor satu, bahkan di atas kepentingan orang yang dicintanya, keluarga.
Cerita yang sangat humanis diceritakan Luhut ketika dia mengatakan bahwa "ada satu momen yang Luhut  ingat sampai saat ini, yaitu suatu waktu anak Luhut yang bernama  Uli saat berumur 3 tahun menangis ketika melihat dirinya  pulang ke rumah".
"Dia tidak mengenali saya. Sebagai seorang ayah, hal itu sangat membuat saya terpukul. Pada momen itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa setiap berangkat menjalankan tugas negara, saya harus memastikan diri saya dan prajurit lainnya bisa pulang dengan selamat"
Kedua, Luhut  menjelaskan bahwa dirinya sudah terbiasa untuk menghadapi  kritik sebagai seorang pejabat publik.
Soal kritik, Luhut mengatakan bahwa tidak mudah tidak memasukkan semua kritik ke dalam hati karena dirinya  juga senang mendapat masukan juga kritik yang membangun dari siapa saja.
Bukan itu saja, Luhut juga selalu mempersilahkan siapapun yang ingin menyampaikan kritik untuk datang dan duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa. Â Di poin inilah, Luhut amat menyayangkan apabila masih ada orang yang melempar ucapan yang menimbulkan kegaduhan tanpa fokus pada inti permasalahan.
Di bagian ini, Luhut menceritakan tentang sosok almarhum Gus Dur, sosok yang semangat positifnya selalu menginspirasi setiap langkah Luhut  menjalani hidup sebagai pejabat negara. Luhut  belajar dari Gus Dur bahwa perbedaan dan kritik pasti ada dan tidak bisa dihilangkan, karena perbedaan itu juga selalu ada.
"Wejangan Gus Dur inilah yang membuat saya selalu berprinsip bahwa persaudaraan antar anak bangsa harus kita kedepankan" ujar Luhut.
Ketiga, Luhut ingin mendidik agar generasi bangsa  saat ini dapat belajar untuk memberikan kritik dengan baik.
Untuk memulai poin ini, Luhut menjelaskan kembali tentang pentingnya kritik bagi kehidupan berbangsa. Â "....bagi saya kritik adalah motivasi terbesar sebagai pejabat negara dalam merumuskan kebijakan yang bermanfaat " tulis Luhut.
Akan tetapi, lebih lanjut  Luhut mendefinisikan bahwa bangsa dan generasi yang terdidik adalah yang  terbiasa untuk saling kritik dan mendebat dengan fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan dengan tuduhan tak berdasar yang menyerang pribadi orang lain. Inilah yang ingin Luhut wujudkan.
Oleh karena itu perlu pendidikan moral dan pendewasaan generasi penerus bangsa yang besar ini, terutama dalam hal berdemokrasi dan menyampaikan pendapat.
Artinya, di dalam proses menuju ini, memang harus ada proses pembelajaran juga bagi pihak-pihak yang mungkin kelewat batas dalam menyampaikan kritik.
"Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk setidaknya membuat masyarakat Indonesia, juga anak-cucu saya, bisa belajar dan paham bahwa setiap tindakan pasti ada konsekuensinya.".
"Jika kita berani mengucapkan dan melakukan suatu hal, mengapa kita tidak punya keberanian yang sama untuk mempertanggung jawabkannya kan?"
****
Menurut saya, surat ini tidak berbelit-belit, bahkan nampak begitu tegas menggambarkan posisinya, baik sebagai pejabat publik maupun sikapnya terhadap persoalannya dengan Said Didu, dan lebih daripada itu harapannya bagi bangsa ini ke depannya.
Ada ketegasan yang nampak dari seorang "prajurit" dalam melihat permasalahan bangsa, dengan harapan ketika melihat sebuah persoalan bangsa. Selebihnya Luhut tetap juga manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H