Hal inilah yang memang terjadi pada masa Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur, atau Kabinet Gotong Royong era Megawati Soekarnoputri atau Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II masa SBY.
Pada 2014, Kabinet Jokowi dapat dikatakan memang lebih baik, namun tak dapat dipungkiri juga kental dengan aroma kompromi politiknya, dari 34 pos kementerian yagn ada.
Misalnya PDIP Perjuangan menyumbang enam menteri sekaligus (Rini Soemarno, Tjahyo Kumolo, Yasonna H.Laoly, AAGN Puspayoga, Ryamizard Riacudu dan Puan Maharani). PKB sendiri mendapat jatah empat menteri (Marwan Jafar, Hanif Dzakiri, Imam NAhrawi dan M.Nasir), sedangkan Nasdem diberi jatah tiga menteri (Tedjo Edy Purdjianto, Ferry Mursidan Baldan dan Siti Nurbaya).
Realitas politik saat itu memaksa Jokowi harus menelan komitmennya untuk membentuk koalisi tanpa syarat, apalagi apda akhirnya partai yang berseberangan seperti PAN dan Golkar juga ikut masuk.
Di Jilid II ini, Jokowi nampak ingin lebih tegas, ia seperti ingin mau melakukan sesuatu yang lebih ideal di periode kedua ini demi efektifitas pemerintahan, apalagi Jokowi tidak memilliki beban lagi untuk melakukan sesuatu demi terpilih lagi di periode berikut.
Jokowi ingin agar bisa mengontrol penuh siapa calon menteri dari partai yang dia inginkan, dan memastikan kader yang masuk dalam kabinetnya adalah kader yang profesional dan berintegritas tinggi.Â
Hal ini perlu agar tarik menarik kepentingan Jokowi dengan elit-elit partai pendukungnya direduksi, karena standar yang dipakai adalah kompetensi dan profesionalitas.
Persoalannya sekarang adalah harus diakui ini bukan soal Jokowi semata, bukan soal efektifitas partai saja namun juga tentang proyeksi kepemimpinan 2024.
Parpol merasa perlu mendapat jatah yang cukup, untuk menunjukan kapabilitas partai maupun kadernya demi 2024 nanti. Â Selain itu, harus diakui, posisi menteri seringkali digunakan oleh menteri parpol untuk melakukan visi partainya dan juga untuk melayani massa parpol demi kepentingan elektoral ke depan.
Di dalam kondisi ini, bahasa komunikasi Jokowi harus dapat mempertemukan antar elit, terutama partai pendukung agar dapat memahami keinginannya sehingga parpol mesti bersiap untuk mempersiapkan langkah-langkah lain demi kepentingan partai.
Realitas ini pula yang membuat wacana pembentukan dua kementrian baru dan penambahan pimpinan DPR terus menguat, perlu dipahami bahwa secara politik ini dapat membantu dalam pembagian kekuasaan.