Saat ini  Presiden Jokowi mulai berpikir keras, bagaimana caranya membentuk kabinet yang solid sekaligus mampu menyenangkan partai politik (Parpol).Â
Dua hal yang terkadang harus mengorbankan salah satu bahkan  akibatnya akan dianggap sebagai sebuah "kebandelan"  dari Parpol, terutama Parpol pendukung.
Sinyal untuk itu mulai terlihat saat Kongres V PDIP berlangsung di Bali. Saat itu, dalam pidato politiknya di Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Bali, Â Megawati Soekarnoputri secara gamblang meminta pada Jokowi untuk mendapat jatah terbanyak di kabinet. Mega dengan tegas tak mau jika hanya diberi jatah empat menteri di kabinet mendatang.
Jokowi langsung berespon saat itu dan tidak serta merta mengiyakan mengenai jatah menteri, meski Jokowi memberi garansi terbanyak untuk PDIP, juga menyatakan jumlah empat menteri bagi PDIP terbanyak jika parpol pendukung lain mendapat jatah dua menteri.
Jokowi sepertinya dinilai sebagai upaya ingin menunjukkan bahwa dirinya presiden berdaulat dalam membangun konstruksi kabinet meski Megawati adalah ketua umum partainya.
Setelah itu, situasi mulai penuh dengan hitung-hitungan detail terutama oleh parpol karena Jokowi lantas mengeluarkan dua hal tegas, yaitu soal prosentase menteri profesional dan partai dengan perbandingan 55 persen dan 45 persen dan juga berulang kali Jokowi mengatakan bahwa penyusunan kabinet adalah hak prerogatif Presiden.
Parpol lantas terlihat gelisah, apalagi sampai sekarang kepastian akan parpol yang akan masuk ke dalam struktur kabinet dengan hanya 45 persen itu masih belum jelas.Â
Parpol pendukung di masa pilpres gelisah karena jatah mereka akan dibatasi, dan parpol lawan yang sekarang mulai diwacanakan akan masuk seperi Gerindra pun harus bersiap diri, jikalau pada akhirnya mendapat jatah yang sangat sedikit dari harapan.
Di poin ini, Jokowi memang mulai "bandel", meski sebernanya kita paham bahwa rekam jejak Jokowi memang seperti itu.
Pada 2014, Jokowi terlihat memiliki tingkat kepercayaan diri berlebih untuk membentuk koalisi minimalis tanpa merekrut mitra koalisi baru. Â
Jokowi sadar bahwa skenario memperbesar postur koalisi memang rawan menciptakan kabinet transaksional. Pos-pos kementrian menjadi ajang politik dagang sapid an diserahkan kepada menteri-menteri dari partai dnegan imbalan dukungan politik.
Hal inilah yang memang terjadi pada masa Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur, atau Kabinet Gotong Royong era Megawati Soekarnoputri atau Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II masa SBY.
Pada 2014, Kabinet Jokowi dapat dikatakan memang lebih baik, namun tak dapat dipungkiri juga kental dengan aroma kompromi politiknya, dari 34 pos kementerian yagn ada.
Misalnya PDIP Perjuangan menyumbang enam menteri sekaligus (Rini Soemarno, Tjahyo Kumolo, Yasonna H.Laoly, AAGN Puspayoga, Ryamizard Riacudu dan Puan Maharani). PKB sendiri mendapat jatah empat menteri (Marwan Jafar, Hanif Dzakiri, Imam NAhrawi dan M.Nasir), sedangkan Nasdem diberi jatah tiga menteri (Tedjo Edy Purdjianto, Ferry Mursidan Baldan dan Siti Nurbaya).
Realitas politik saat itu memaksa Jokowi harus menelan komitmennya untuk membentuk koalisi tanpa syarat, apalagi apda akhirnya partai yang berseberangan seperti PAN dan Golkar juga ikut masuk.
Di Jilid II ini, Jokowi nampak ingin lebih tegas, ia seperti ingin mau melakukan sesuatu yang lebih ideal di periode kedua ini demi efektifitas pemerintahan, apalagi Jokowi tidak memilliki beban lagi untuk melakukan sesuatu demi terpilih lagi di periode berikut.
Jokowi ingin agar bisa mengontrol penuh siapa calon menteri dari partai yang dia inginkan, dan memastikan kader yang masuk dalam kabinetnya adalah kader yang profesional dan berintegritas tinggi.Â
Hal ini perlu agar tarik menarik kepentingan Jokowi dengan elit-elit partai pendukungnya direduksi, karena standar yang dipakai adalah kompetensi dan profesionalitas.
Persoalannya sekarang adalah harus diakui ini bukan soal Jokowi semata, bukan soal efektifitas partai saja namun juga tentang proyeksi kepemimpinan 2024.
Parpol merasa perlu mendapat jatah yang cukup, untuk menunjukan kapabilitas partai maupun kadernya demi 2024 nanti. Â Selain itu, harus diakui, posisi menteri seringkali digunakan oleh menteri parpol untuk melakukan visi partainya dan juga untuk melayani massa parpol demi kepentingan elektoral ke depan.
Di dalam kondisi ini, bahasa komunikasi Jokowi harus dapat mempertemukan antar elit, terutama partai pendukung agar dapat memahami keinginannya sehingga parpol mesti bersiap untuk mempersiapkan langkah-langkah lain demi kepentingan partai.
Realitas ini pula yang membuat wacana pembentukan dua kementrian baru dan penambahan pimpinan DPR terus menguat, perlu dipahami bahwa secara politik ini dapat membantu dalam pembagian kekuasaan.
Meski akan terlihat "bandel", publik perlu berharap agar Jokowi dapat juga "berdamai" dengan partai-partai pendukungnya, agar manuver yang diinginkannya untuk komposisi kabinet yang ideal memiliki ruang yang cukup luas, sehingga Jokowi dapat memilih profil yang tepat untuk menjadi menterinya.
Kita tinggal menunggu bagaimana proses ini akan berjalan, "kebandelan" Jokowi dan kegelisahan Parpol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H