Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

22 Mei, Janda Itu Masih Menjual Buah Alpukat

20 Mei 2019   22:16 Diperbarui: 21 Mei 2019   02:35 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Alpukat So'e I Gambar :Dokpri

20 Mei 2019. Hampir setiap pagi melewati jalan tersebut, saya harus melambatkan kendaraan bermotor. Wanita tua itu yang melambatkannya. Sambil memegang kedua kantung plastik hitam berukurang sedang, wanita itu terlihat takut untuk menyebrangi jalan.

Saya berhenti, sambil melambaikan tangan, agar kendaraan di belakang saya juga ikut berhenti. Wanita itu tampak senang, tapi juga kuatir, jangan-jangan ada kendaraan nakal yang melewati hadangan tangan saya.

Suatu kali, ada yang terjatuh dari kantong plastik hitam tersebut, berbentuk agak lonjong berwarna hijau bergulir agak jauh dari langkah wanita itu.  Wajahnya berubah pucat, apalagi beberapa kendaraan mulai membunyikan klakson.

Sambil menunduk, wanita itu mengambilnya kembali, dan lekas memasukan kembali ke kantong tersebut. Dia sedikit berlari, menuju meja kecil di bawah pohon kedondong yang mulai rimbun. Meja kecil, reot.

Suatu kali saya terpaksa harus berhenti agak lama di seberang meja wanita tersebut. Ban sepeda motor saya pecah, ada tukang tambal ban yang hanya berjarak lebar jalan aspal. Sambil menunggu, karet ban hitam dipanasin, saya memandang aktivitas wanita tersebut.

Dua kantong plastik yang sering dibawanya itu, berisi buah alpukat, avokad. Wanita itu mulai menyusun buah-buah alpukat itu ke dalam beberapa kumpul. Berisi 3-5 buah perkumpulnya.

"Kasihan, janda" kata tukang tambal ban memecah pandang saya pada wanita tua tersebut.

Saya tersenyum, tak membalas apa-apa, tak menyahut. Sedikit menyesal apa lirih pandang saya, terlihat seperti ingin tahu, atau pandang belas kasihan. Saya tentu tak mau melakukannya. Wanita, janda tua tersebut lebih tangguh dari saya.

Setiap sore, pulang kerja, wanita janda tersebut masih ada di bawah pohon rimbun itu. Terkadang, alpukat tersebut dudah berkurang, terkadang pula masih terlihat penuh, tak berubah, entah tak ada yang membeli, atau dia mengambil stok tambahan dari rumahnya.

Bulan begini, jumlah alpukat masih banyak di kota bernama Kupang ini. Ceritanya, di beberapa tempat seperti So'e, kota berjarak 100 km dari Kupang, alpukat bahkan menjadi makanan hewan, babi, karena jumlahnya sangat banyak dengan pasar yang jaraknya jauh dari kebun-kebun masyarakat.

Buah bernama latin, Persea Americana ini, amat mahal di Jakarta, saya tidak pernah tahu harganya di ibu kota, tetapi beberapa teman disana pernah membawanya dibungkus dalam dus air mineral dengan wajah yang senang. Tentu sebelum beberapa maskapai memberi cas untuk bagasi.

Tumbuhan yang konon berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah ini, memang  legit dan kaya akan asam folat, sehingga berguna bagi kesehatan, sehingga banyak yang meminatinya, meski katanya mengandung kolesterol yang tinggi.

Suatu saat, saya berusaha menyapanya sekedar untuk membeli beberapa buah alpukat. Wanita itu tersenyum, entah mengapa dia memberi saya beberapa bonus buah alpukat meski dengan ukuran yang lebih kecil.

Katanya sudah hampir 10 tahun dia berjualan di tempat itu,  mejanya memang sudah reot, tapi tentu tidak berumur 10 tahun. Katanya, dulu, dia hanya meletakan buah itu, di pinggir jalan di atas kertas koran bekas. Sesudah sedikit merasakan untung, baru dia membuat sebuah meja kecil.

22 Mei nanti Indonesia sudah mendapat pengumuman dari KPU siapa yang menjadi pemenang pilpres, Jokowi atau Prabowo. Sebelum itu, kisruh politik terjadi, ancaman dari pihak yang kemungkinan kalah untuk mengumpulkan massa di ibu kota diberitakan secara masif di media. Ada ketakutan, ada ancaman akan keamanan bangsa, meski mungkin hanya menyedot segelintir dari jumlah rakyat Indonesia tercinta ini.

Janda tua ini, tidak pernah tahu dan peduli akan berita-berita tersebut. Janda itu masih harus menjual alpukat untuk membuatnya bertahan hidup. Ketika banyak orang bisa hidup tanpa bekerja dan hanya berurusan dengan demonstrasi, dan politik, janda tua ini masih menjual alpukat.

Apapun yang terjadi di 22 Mei nanti, janda tua ini masih duduk di bawah pohon rindang, menjaga alpukatnya. Saya? Saya juga masih harus bekerja untuk hidup. Tukang tambal ban? Ah, dia terlalu malas, sekali tambal seharga 15 ribu rupiah, hanya dia habiskan untuk membeli rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun