Soal kehidupannya bersama tentara, tak banyak Pak Ximenes bercerita, meski beberapa hal yang diceritakannya membuat saya sempat mengernyitkan dahi.
Cerita kami lantas bergerak mundur ke saat perjuangannya melewati perbatasan hingga ditampung di asrama kantor kami. Pak Ximenes bersama ribuan orang lainnya perlu beberapa hari dari Atambua hingga akhirnya sampai di Kupang. Tentu karena mencekamnya situasi, karena sekarang Atambua ke Kupang normalnya ditempuh dalam waktu sekitar hanya 12 jam melalui perjalanan darat.
Mereka berjuang bukan saja secara fisik, untuk dapat bertahan hidup dengan misteri siapa yang akan memberi mereka makan di Timor Barat, tetapi juga berjuang secara mental dengan bertanya dalam hati, apakah ini pilihan yang paling tepat?
"Susah ya pak Ximenes?" tanya saya.
"Susah betul..." jawabnya.
"Mengapa mau?" tanya saya lagi.
"Indonesia yang beri saya nasi" jawabnya, lagi-lagi singkat.
Saya lantas merenung.
Pak Ximenes adalah warga negara yang pernah terlibat dengan pilihan untuk mencintai bangsa ini dalam perjalanannya sebagai rakyat Indonesia.Â
Ximenes menggambarkan bahwa Ibu Pertiwi adalah ibarat ibu pada umumnya memberi makan. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat dia memilih tetap menjadi warga Indonesia dan bersikap hormat terhadap bangsa ini.
Di HUT Ke-73 RI ini saya lantas bertanya dalam hati, gambaran bangsa seperti apa yang ada di benak saya? Bagaimana jika saya diperhadapkan terhadap pilihan untuk meninggalkan bangsa ini dan memilih bangsa lain? Pertanyaan yang memang jarang saya pikirkan.