Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita dan Penjara Mewah

31 Juli 2018   17:43 Diperbarui: 1 Agustus 2018   08:20 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita hanya berbeda jaket bro. Jaket KPK. Selebihnya kita bisa saja sama dengan mereka" ujar Jimi.

" Meski bukan terpidana, kita sebenarnya berada di dalam penjara mewah?" kata Jimi lagi, membuat penasaran.

"Maksudnya?" tanya saya ingin tahu metafora yang dipakai Jimi soal penjara mewah.

"Kita terlalu nyaman dengan sikap mencela orang lain namun tidak mau merubah diri kita dan lingkungan kerja kita. Bukankah itu juga seperti berada di penjara yang mewah?" kata Jimi.

Lagi-lagi Jimi ada benarnya. Itulah realita yang terjadi. Banyak orang yang ingin orang lain berubah daripada dirinya sendiri, banyak orang suka menyalahkan daripada disalahkan dan banyak orang yang senang mengkritik orang lain daripada dirinya sendiri menjadi pemberi solusi.

Saya hampir tak percaya mendapatkan berbagai nasihat ini dari Jimi, mantan penghuni Lapas. Jimi sudah berubah. Jika harus jujur, Jimi itu dulu angkuh dan arogan. Membicarakan hal seperti ini bukanlah jati dirinya dahulu. Tetapi kehidupan penjara jelas merubahnya. Sekarang Jimi menjadi rendah hati dan lebih jujur akan kehidupannya.

Jimi mendapatkan arti kehidupan dari balik bilik penjara melalui proses panjang dan tentu tanpa sewaan penjara mewah. Situasi yang amat disyukuri oleh Jimi dan sepertinya tak dialami oleh Kaligis cs di Lapas Sukamiskin.

"Bro, sudah jam 7 malam, saya jemput dulu Inka (anak Jimi) dulu" kata Jimi, sambil memanggil pelayan Kafe .

"Ok Jim, makasih ya, lain kali kita sambung lagi pembicaraan ini"  ujar saya, sambil berjanji dalam hati akan lebih banyak merenungkan hal yang amat berharga ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun