"Kita hanya berbeda jaket bro. Jaket KPK. Selebihnya kita bisa saja sama dengan mereka" ujar Jimi.
" Meski bukan terpidana, kita sebenarnya berada di dalam penjara mewah?" kata Jimi lagi, membuat penasaran.
"Maksudnya?" tanya saya ingin tahu metafora yang dipakai Jimi soal penjara mewah.
"Kita terlalu nyaman dengan sikap mencela orang lain namun tidak mau merubah diri kita dan lingkungan kerja kita. Bukankah itu juga seperti berada di penjara yang mewah?" kata Jimi.
Lagi-lagi Jimi ada benarnya. Itulah realita yang terjadi. Banyak orang yang ingin orang lain berubah daripada dirinya sendiri, banyak orang suka menyalahkan daripada disalahkan dan banyak orang yang senang mengkritik orang lain daripada dirinya sendiri menjadi pemberi solusi.
Saya hampir tak percaya mendapatkan berbagai nasihat ini dari Jimi, mantan penghuni Lapas. Jimi sudah berubah. Jika harus jujur, Jimi itu dulu angkuh dan arogan. Membicarakan hal seperti ini bukanlah jati dirinya dahulu. Tetapi kehidupan penjara jelas merubahnya. Sekarang Jimi menjadi rendah hati dan lebih jujur akan kehidupannya.
Jimi mendapatkan arti kehidupan dari balik bilik penjara melalui proses panjang dan tentu tanpa sewaan penjara mewah. Situasi yang amat disyukuri oleh Jimi dan sepertinya tak dialami oleh Kaligis cs di Lapas Sukamiskin.
"Bro, sudah jam 7 malam, saya jemput dulu Inka (anak Jimi) dulu" kata Jimi, sambil memanggil pelayan Kafe .
"Ok Jim, makasih ya, lain kali kita sambung lagi pembicaraan ini" Â ujar saya, sambil berjanji dalam hati akan lebih banyak merenungkan hal yang amat berharga ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H