Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita dan Penjara Mewah

31 Juli 2018   17:43 Diperbarui: 1 Agustus 2018   08:20 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi penjara/bridgemi.com

Otto Cornelis Kaligis tidak memakai baju saat tim Mata Najwa melakukan sidak di selnya di Lapas Sukamiskin. O.C Kaligis berusaha menjawab seadanya setiap pertanyaan dari Najwa Shihab. Kaligis terlihat tidak menyangka kehadiran tim tersebut.

Ruangan sel O.C Kaligis terlihat tak seperti sel di Lapas pada umumnya, bahkan terkesan mewah. Televisi LED, Laptop dan beberapa gadget ada di sel terpidana kasus suap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara. Sel itu sepertinya didisain secara khusus untuk menemani Kaligis yang menyisakan enam tahun lamanya dipenjara.

Bukan sekedar menemani, namun penjara mewah itu membuat Kaligis, Novanto dan beberapa terpidana koruptor lainnya merasa tidak sedang dipenjara, mereka bebas!.

Semua orang yang melihatnya berteriak lantang, mengapa retribusi keadilan di tempat itu tidak berjalan semestinya. Mengapa koruptor itu masih bisa melakukan korupsi atau suap di tempat yang menjunjung keadilan tersebut. Jika demikian, dimanakah biduk keadilan itu harus bersauh? Miris.

Namun sebenarnya yang lebih menyedihkan lagi ketika mengingat penolakan Kaligis, Novanto dll untuk masuk kedalam sebuah proses pemurnian dan penyadaran dari dalam bilik penjara. Pemurnian itu tidak dapat berjalan sempurna ketika jiwa dan raga menolak untuk disakiti. Inilah yang perlu amat disesali.

Penjara bukan saja sebagai tempat hukuman, tetapi juga adalah tempat yang tepat untuk berefleksi dan bermeditasi sehingga dapat bertobat dari kesalahan.

Ketika  Paus Pius IX pada abad 18 merancang suatu penjara kepausan untuk para remaja dan menempatkan mereka di sel terpisah sebenarnya dengan sebuah  dengan tujuan besar, yaitu, bukan sekedar penghukuman namun untuk sebuah perenungan.

Jauh sebelumnya pada tahun 1772, kelompok "Quaker"  membangun Walnut Street Jail di Philadelphia, Amerika Serikat yang menempatkan pelanggarnya di sel pribadi yang sederhana sehingga mereka bisa bermeditasi dan bertobat dari dosa-dosa mereka. Dari kedua kisah ini dapat dipelajari bahwa filosofi  pertobatan dan pemulihan menjadi tujuan sejati ketika seseorang dipenjara.

***

Kemarin sore, saya bercengkrama soal hal ini dengan Jimi, teman dekat yang pernah menghuni sel penjara di sebuah sudut cafe di Kota. Penyebab Jimi dipenjara tidak perlu saya ceritakan di sini.

"Nold...di penjara itu tidak enak" kata Jimi memulai percapakan kami.

"Paling tidak enak itu yaitu komunikasi dengan istri dan anak. Serba terbatas" kata Jimi yang menghuni penjara selaam 2,5 tahun.

Setiap momen itu menjadikan Jimi menjadi pribadi yang berubah sekarang. Dahulu, Jimi jarang berkomunikasi dengan istri dan anak. Namun, saat di penjara dan sesudah lepas dari penjara, Jimi semakin menyadari waktu dengan keluarganya menjadi sangat berkualitas.

"Di penjara, wajah Istri dan anak membayangi terus. Saya semakin rindu pada mereka. Di penjara, saya baru menyadari hal tersebut" cerita Jimi.

"Sekarang, saya ingin menebusnya" tutur Jimi yakin.

Bukan sekedar komunikasi dengan keluarga yang berubah, Jimi juga semakin bijak memaknai kehidupan.

"Hidup itu bukan sekedar untuk mencari kekayaan tetapi menjadi berkat untuk sesama" kata Jimi yang adalah seorang pengusaha.  

Kalimat yang bijak ini diungkapkan Jimi setelah menemui banyak sekali tahanan yang kehidupannya sangat sulit sehingga mencuri adalah cara terakhir untuk bertahan hidup.

"Bandingkan dengan kita bro...kita tidak kurang makan, hanya terkadang kita "mencuri" hanya untuk kesenangan kita. Mereka? Tak ada pilihan lain" cerita Jimi.

Jimi juga menceritakan tentang seorang pegawai negeri yang ditemuinya di sel penjara.

"Setiap hari dia menangis. Dia dibodohi atasannya dan akhirnya harus menandatangani sesuatu yang tidak dia mengerti. Kasihan, harus menghabiskan masa tuanya di dalam bilik penjara, untuk sesuatu yang tidak dilakukannya" kata Jimi.

"Lalu bosnya?" tanya saya.

"Ah, tidak pernah peduli pada dirinya. Masih bebas dan bahagia di luar sana" kata Jimi.

Cerita tentang para oknum "aparat" yang nakal juga diceritakan Jimi.

"Ah, sebenarnya ada gawai yang disewakan dengan harga yang tak murah hanya untuk say hello pada kelurga" kata Jimi.

"Ah, dibolehkan?" tanya saya.

"Ilegal lah, jika punya duit semua serba aman" kata Jimi, sambil tersenyum.

"Semua orang?" tanya saya ingin tahu.

"Tidak, masih ada yang baik dan jujur" cerita Jimi.

"Mengharap sistim ini semuanya baik bisa membuat kita frustrasi. Mulai saja dari diri kita sendiri, sekecil apapun yang kita lakukan sudah berarti untuk kehidupan yang lebih baik" kata Jimi. Lagi-lagi semakin bijak.

"Kita bisa jadi seperti mereka jika berada di posisi itu" kata Jimi, kali ini sambil tersenyum kecil.

Kalimat Jimi sempat membuat saya tertegun dan mengaminkannya. Seringkali kita lebih senang menghakimi perbuatan tercela orang lain tanpa ada ruang untuk diri sendiri berefleksi.

Kita lebih senang mencela O.C Kaligis dan para koruptor lainnya, meski sebenarnya kita juga tak lebih baik dari mereka. Kita mungkin masih terlibat korupsi kecil-kecilan di kantor secara sendiri ataupun berjamaah disadari atau tidak disadari.

"Kita hanya berbeda jaket bro. Jaket KPK. Selebihnya kita bisa saja sama dengan mereka" ujar Jimi.

" Meski bukan terpidana, kita sebenarnya berada di dalam penjara mewah?" kata Jimi lagi, membuat penasaran.

"Maksudnya?" tanya saya ingin tahu metafora yang dipakai Jimi soal penjara mewah.

"Kita terlalu nyaman dengan sikap mencela orang lain namun tidak mau merubah diri kita dan lingkungan kerja kita. Bukankah itu juga seperti berada di penjara yang mewah?" kata Jimi.

Lagi-lagi Jimi ada benarnya. Itulah realita yang terjadi. Banyak orang yang ingin orang lain berubah daripada dirinya sendiri, banyak orang suka menyalahkan daripada disalahkan dan banyak orang yang senang mengkritik orang lain daripada dirinya sendiri menjadi pemberi solusi.

Saya hampir tak percaya mendapatkan berbagai nasihat ini dari Jimi, mantan penghuni Lapas. Jimi sudah berubah. Jika harus jujur, Jimi itu dulu angkuh dan arogan. Membicarakan hal seperti ini bukanlah jati dirinya dahulu. Tetapi kehidupan penjara jelas merubahnya. Sekarang Jimi menjadi rendah hati dan lebih jujur akan kehidupannya.

Jimi mendapatkan arti kehidupan dari balik bilik penjara melalui proses panjang dan tentu tanpa sewaan penjara mewah. Situasi yang amat disyukuri oleh Jimi dan sepertinya tak dialami oleh Kaligis cs di Lapas Sukamiskin.

"Bro, sudah jam 7 malam, saya jemput dulu Inka (anak Jimi) dulu" kata Jimi, sambil memanggil pelayan Kafe .

"Ok Jim, makasih ya, lain kali kita sambung lagi pembicaraan ini"  ujar saya, sambil berjanji dalam hati akan lebih banyak merenungkan hal yang amat berharga ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun