"Lebih bagus dari Bukit Warinding?. Ada, Bukit Tunau" ujar Ita, yakin. Ita adalah seorang rekan yang turut menjadi guide kami ketika berkunjung ke Waingapu, Sumba Timur. Kami memang sempat terpesona dengan Bukit Warinding, bukit yang sangat dikenal karena dipromosikan melalui film Pendekar Tongkat Emas karya Mira Lesmana.
"Berapa jauh dari Waingapu?" tanya saya. " Dekat, sekitar 30-45 menit." jawab Ita. Ada 2 hal yang mengusik keobyektifan saya mengenai jawaban Ita. Pertama, soal jarak. Terkadang jika kita ketemu dengan orang setempat, jarak itu terkadang relatif alias tak pasti. Untuk turis lokal, itu terasa jauh sekali, namun bagi penduduk lokal seperti Ita, itu dekat. 30 menit versi Ita, bisa serupa 1 hingga 1,5 jam dalam realita. Ah, semoga tidak demikian.
Namun, sekarang lupakan sejenak, soal obyektifitas dan  subyektifitas di sini. Jika sudah tiba di tanah humba ini, fokuskan diri saja untuk menikmati alam ciptaan Tuhan yang luar biasa pesonanya di pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.
Akhirnya, dengan kendaraan roda empat kami bersama-sama berangkat ke Bukit Tunau, tentu bersama Ita. Salah satu hal yang perlu disyukuri adalah perjalanan dari  Waingapu ke Bukit Tunau ini, sebagian besar tidak mengalami kendala yang berkaitan dengan infrastruktur jalan. Jalan-jalan sudah dihotmix dengan mulus. Jalan-jalan ini, membentuk garis hitam panjang yang melingkari tanah Sumba yang banyak bukitnya.
Ada sedikit persoalan kecil lain, yaitu ketika sudah sampai di kaki bukit Tunau, yang terletak tepatnya di Kecamatan Kambera itu. Ternyata jalan menuju ke punggung bukit, masih belum berupa jalan perkerasan, masih jalan tanah.
Namun, karena keinginan yang kuat, jalan terjal itu dapat dilalui. PR kecil bagi Pemda setempat untuk lebih baik lagi menyiapkan sarpras untuk destinasi wisata yang tersedia. Meski sebenarnya, hati kecil saya yang lain berharap, biarkan bukit ini sendirian dan alamiah, ada baiknya juga.
Jika dibandingkan dengan Warinding, memang ada kesamaan, salah satunya yaitu view Tunau juga menjual lanskap dengan padang rumput hijau menyerupai karpet yang menyelimuti barisan bukit yang ada.
Namun memang ada perbedaannya, barisan bukit tunau ukurannya lebih kecil dari Warinding, tetapi jumlahnya lebih banyak. Hal ini membuat, bukit itu bukan sekedar berbaris namun seperti sedang berpegangan tangan erat.
Selain itu posisi mereka yang berdekatan dan rapi itu terlihat membentuk satu garis lurus, menyatu seperti hendak bertutur bahwa bukit-bukit itu rukun bersama. "Lebih banyak lekuk dan lebih rapi" ujar Ita, seperti hendak membenarkan pendapatnya, bahwa Tunau lebih indah dari Warinding.
Dari puncak bukit Tunau, kita seperti dapat merengkuh awan yang bergerombolan seperti bermaksud menyambut kami di ketinggian yang hampir sama. Namun sesekali, dia menjauh seakan-akan malu saat ditiup angin.
Setelah beberapa lama, kami memutuskan untuk pulang, meski sayang kami tak menunggu sampai sunset tiba. Mungkin semua berpendapat sama, tanpa sunsetpun, Tunau itu tetap unik, istimewa, eksotis. Suatu saat kami akan kembali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H