Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bukit Tunau, Satu Lagi Bukit Eksotis di Sumba Timur

16 Maret 2018   22:18 Diperbarui: 17 Maret 2018   00:27 1815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lebih bagus dari Bukit Warinding?. Ada, Bukit Tunau" ujar Ita, yakin. Ita adalah seorang rekan yang turut menjadi guide kami ketika berkunjung ke Waingapu, Sumba Timur. Kami memang sempat terpesona dengan Bukit Warinding, bukit yang sangat dikenal karena dipromosikan melalui film Pendekar Tongkat Emas karya Mira Lesmana.

"Berapa jauh dari Waingapu?" tanya saya. " Dekat, sekitar 30-45 menit." jawab Ita. Ada 2 hal yang mengusik keobyektifan saya mengenai jawaban Ita. Pertama, soal jarak. Terkadang jika kita ketemu dengan orang setempat, jarak itu terkadang relatif alias tak pasti. Untuk turis lokal, itu terasa jauh sekali, namun bagi penduduk lokal seperti Ita, itu dekat. 30 menit versi Ita, bisa serupa 1 hingga 1,5 jam dalam realita. Ah, semoga tidak demikian.

Bukit Tunau, Dokpri
Bukit Tunau, Dokpri
Kedua, soal keindahan bukit Tunau. Jika bukit Warinding saja saya katakan seperti permadani yang jatuh dari sorga melalui tulisan saya berjudul Pesona Bukit Warinding dan Kesadaran kita, maka kata apa lagi yang perlu saya sematkan untuk keindahan Tunau, yang menurut Ita lebih indah dari Warinding. Semoga kali ini, Ita tak mendramatisir.

Namun, sekarang lupakan sejenak, soal obyektifitas dan  subyektifitas di sini. Jika sudah tiba di tanah humba ini, fokuskan diri saja untuk menikmati alam ciptaan Tuhan yang luar biasa pesonanya di pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.

Akhirnya, dengan kendaraan roda empat kami bersama-sama berangkat ke Bukit Tunau, tentu bersama Ita. Salah satu hal yang perlu disyukuri adalah perjalanan dari  Waingapu ke Bukit Tunau ini, sebagian besar tidak mengalami kendala yang berkaitan dengan infrastruktur jalan. Jalan-jalan sudah dihotmix dengan mulus. Jalan-jalan ini, membentuk garis hitam panjang yang melingkari tanah Sumba yang banyak bukitnya.

View ketika menuruni puncak Tunau I Dokpri
View ketika menuruni puncak Tunau I Dokpri
Kami membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan dari Waingapu dengan mobil. Sebagai catatan, prediksi waktu Ita sudah tepat, hanya karena kami masih sempat berhenti di beberapa tiitk untuk berfoto, maka waktunya menjadi molor sedikit.

Ada sedikit persoalan kecil lain, yaitu ketika sudah sampai di kaki bukit Tunau, yang terletak tepatnya di Kecamatan Kambera itu. Ternyata jalan menuju ke punggung bukit, masih belum berupa jalan perkerasan, masih jalan tanah.

Namun, karena keinginan yang kuat, jalan terjal itu dapat dilalui. PR kecil bagi Pemda setempat untuk lebih baik lagi menyiapkan sarpras untuk destinasi wisata yang tersedia. Meski sebenarnya, hati kecil saya yang lain berharap, biarkan bukit ini sendirian dan alamiah, ada baiknya juga.

Dari puncak Tertinggi Tunau I Dokpri
Dari puncak Tertinggi Tunau I Dokpri
"Wihhh...indahnya...." teriak seorang teman, ketika sampai di punggung bukit.  Ya, Bukit Tunau.

Jika dibandingkan dengan Warinding, memang ada kesamaan, salah satunya yaitu view Tunau juga menjual lanskap dengan padang rumput hijau menyerupai karpet yang menyelimuti barisan bukit yang ada.

Namun memang ada perbedaannya, barisan bukit tunau ukurannya lebih kecil dari Warinding, tetapi jumlahnya lebih banyak. Hal ini membuat, bukit itu bukan sekedar berbaris namun seperti sedang berpegangan tangan erat.

Selain itu posisi mereka yang berdekatan dan rapi itu terlihat membentuk satu garis lurus, menyatu seperti hendak bertutur bahwa bukit-bukit itu rukun bersama. "Lebih banyak lekuk dan lebih rapi" ujar Ita, seperti hendak membenarkan pendapatnya, bahwa Tunau lebih indah dari Warinding.

Dokpri
Dokpri
Menurut saya, salah satu hal yang membuat pemandangan di Tunau elok adalah persoalan ketinggian. Di Tunau kita lebih memeras keringat untuk ikut jalur trekking ke puncak paling tinggi bukit tersebut. Namun kata beberapa orang bahwa untuk turun dari bukit itu sangatlah mudah, namun panorama terbaik ada ketika kita semakin mendaki ke atas, memang benar adanya.

Dari puncak bukit Tunau, kita seperti dapat merengkuh awan yang bergerombolan seperti bermaksud menyambut kami di ketinggian yang hampir sama. Namun sesekali, dia menjauh seakan-akan malu saat ditiup angin.

Eksotis Tunau I Dokpri
Eksotis Tunau I Dokpri
Di puncak Tunau itu juga kita bisa melihat betapa kirananya  bukit-bukit yang berderet  dalam diam itu. Teriakan dari atas bukit dapat digaungkan oleh alam tetapi tak kuasa untuk membuat bukit-bukit itu berpindah. Mereka selesa (gembira) untuk tetap di sana.

Setelah beberapa lama, kami memutuskan untuk pulang, meski sayang kami tak menunggu sampai sunset tiba. Mungkin semua berpendapat sama, tanpa sunsetpun, Tunau itu tetap unik, istimewa, eksotis. Suatu saat kami akan kembali. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun