Hoiledo memang kampung yang saat itu masih kekurangan air bersih. Mereka memiliki mata air yang agak jauh dari perumahan penduduk. Sehingga ketika pemerintah berencana memasang pipa yang airnya mengalir dari mata air terdekat, kegiatan pembersihan mata air itu terasa penting dan mendesak.
Besoknya, saya pun turut kerja bakti bersama. Mata air di tengah hutan mamar itu mulai dibersihkan. Ceritanya, satu keluarga minimal disyaratkan harus mengirimkan satu orang untuk turut membersihkan. Jika tidak, maka mereka harus merelakan buah dari pohon kelapa mereka diambil. Cara yang cukup berhasil untuk menyalakan kembali semangat gotong royong yang semakin memudar. “Makasih..pak guru, sudah ikut berpartisipasi” kata pak RT saat kami berjalan pulang bersama dari mata air. “Bapak sudah menjadi bagian kami” kata seorang bapak yang lain, tersenyum. “Ah…daripada di rumah saja pak..saya kesepian” jawab saya sambil bercanda.
Saya tentunya yang paling bahagia. Bukan karena bisa lekas pulang, tetapi turut mendapatkan kebahagian akibat kehangatan dari mereka. Kehangatan yang sulit dilupakan dan digantikan oleh hal lain.
Waktunya untuk pulang. Mereka bersikeras mengantar. Memakai mobil pick Up, kami beramai-ramai pergi ke pelabuhan Pantai Baru, tempat kapal Ferry bersandar. Jabat tangan antar kami mengantar saya masuk ke dalam ferry. “Selamat tinggal Hoiledo…”kata saya dalam hati ketika Ferry mulai meninggalkan Pelabuhan.
“Hallo…kaka Lexy. Apa kabar?” suara saya lewat hand phone menyapa mereka, sesudah sebulan pulang. “baik pak…wah ada siswa yang sudah buka usaha mebel pak” kabar Lexy. “wah..hebat,…lalu mancing..masih?” tanya saya lagi. “Masih..pak, kapan bapak datang ke Rote lagi?” tanya Lexy…
“Hmm…tunggu sajalah..” jawab saya dengan tertawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H