“Ya..Tuhan binatang apa ini?” teriakku dalam hati sambil mengibaskan bantal penghias kasur di tengah malam. Malam itu kepala saya digerayangi sesuatu yang bergerak. Lampu, langsung kunyalakan. Kukibaskan lagi bantal dan beberapa buku yang berserakan dari atas kasur yang langsung menempel ke lantai itu.
“Kepiting….!!” kagetku sambil mulut tetap tetutup rapat, karena tidak mau mengganggu tidur lelap seisi rumah dimana aku menumpang. Kurang lebih dua ekor kepiting terlihat menyusup takut di balik lemari kayu jati di dalam kamar.
Pengalaman yang membuatku sempat berpikir untuk lekas pergi dari Hoiledo, kampung kecil di Pulau Rote, Pulau terselatan Indonesia itu. Malam itu adalah malam kedua saya menginap di sana, masih tersisa 28 malam lagi saya di sana untuk berbagi ketrampilan kerja sebagai seorang instruktur.
“Wah…tadi malam ada kepiting menggangguku di kamar” ceritaku pada beberapa orang siswa pelatihan besoknya, ingin memohon iba belas kasihan dengan solusi. “ Ah…mungkin itu pertanda tidak baik pak” jawab beberapa orang sambil tersenyum. “Wah..yang benar?” jawabku tidak yakin. Mereka langsung tertawa.
Mereka lalu mencoba menjelaskan, bahwa tidak jauh dari rumah yang saya tinggali itu memang ada sebuah kali kecil yang airnya sudah mulai mengering. Kepiting-kepiting air tawar berukuran sedang itu diduga masuk rumah penduduk untuk mencari air untuk bertahan hidup. “Ohh..begitu ya” sahutku senang akan penjelasan semi ilmiah tersebut. Walaupun sebenarnya masih heran, mengapa hanya mau berkunjung ke kamarku.
“Sepertinya belum tidur….” jawab bapak Minggus yang melihat cahaya lampu dari kamar yang menyelinap keluar dari balik pintu. Sudah jam 11 malam. Saya memang belum tidur. Ada beberapa bahan mengajar yang harus disiapkan malam itu. “Pak guru..ada tamu” ketuk pelan pintu dari bapak Minggus. “ Iya..pak” jawab saya, lalu lekas keluar.
Kaka Wadson dan Kaka Johan terlihat berdiri menunggu di depan pintu. ‘Kaka”, begitu saya memanggil mereka, karena usia mereka yang jauh lebih tua. Mereka adalah dua orang siswa kelas pelatihan saya.
“Hei..kaka, karmana?” tanyaku. “Begini pak guru, kami tadi dapat ikan napoleon kecil dan kerapu karang..kalau pak guru mau, kita makan bersama malam ini, mumpung masih segar” tawar mereka yang agak ragu apakah saya bersedia atau tidak.
Sebagai instruktur latihan kerja yang masih belum cukup berpengalaman, saya teringat akan sebuah nasihat berharga. Jika ingin ilmumu bisa diterima dengan baik di desa atau kampung, jadilah bagian dalam hidup mereka. Bukan di dalam kelas tetapi juga di luar kelas. Saya memang selalu menggunakan itu, dan nasehat itu memang terbukti berhasil.
“Iya..ayoo” jawab saya. Mereka langsung tersenyum. Malam itu kami habiskan untuk membakar ikan tersebut dengan cerita-cerita tentang kehidupan sehari-hari.
Hoiledo itu adalah kampung yang tak jauh dari laut. Pekerjaan masyarakat pada umumnya berkebun, bertani dan juga sebagai nelayan. Kaka Wadson dan kaka Johan adalah dua orang nelayan. “Laut sedang tida bae pak guru, jadi kita memancing dari pinggir malam ini, bersyukur dapat ikan yang enak pak guru” cerita kaka Wadson tentang bagaimana mereka mendapat ikan bakar itu.
Sebagai nelayan, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa setiap musim melaut. Sehingga dalam musim-musim tertentu mereka ingin mengisinya dengan ketrampilan lain, yaitu pelatihan tukang mebel yang saya ajarkan. “Wah..kami yakin akan berguna sekali pak guru” jawab mereka senang saat saya bertanya tentang kegunaan mereka ikut pelatihan.
Sesudah bercerita dan selesai menikmati ikan bakar, mereka berpamitan pulang. “Jangan terlambat besok” ujar saya mengiringi kepulangan mereka. Ah, minggu pertama yang bahagia.
Cerita tentang malam dengan bakar-bakar ikan itu tersebar, beberapa orang mulai menawarkan aktifitas-aktifitas menarik untuk mengisi hari-hari saya di kampung selagi tidak mengajar. “Pak guru suka mancing?” tanya Gusnan, wakil ketua kelas yang sebaya dengan saya. “Wah..suka, tapi beta son (tidak) mahir. Beta ju biasa mabok kalo pake perahu” jelas saya jujur. “Wah..gampang pak, katong(kita) mancing meting sa nanti” ujar Gusnan. “Ayo….” sahutku cepat, walaupun belum mengerti apa maksud dari memancing meting ini.
Kelas pelatihan hari itu selesai jam 3 sore. “Wah..kami permisi pak,cari umpan dulu, nanti baru bapak menyusul” kata Gusnan dengan mata berbinar-binar. “Oh..oke” jawabku.
Beberapa waktu kami semua terdiam dan berkonsentrasi. Satu persatu mereka terlihat mulai menuai hasil. Mulai dari ikan berukuran kecil hingga ikan yang berbadan seperti ular didapatkan. Sayangnya, hanya saya yang gagal mendapatkan hasil sore itu, namun kami semua tersenyum bahagia ketika pulang. Minggu kedua berlalu.
Sesudah kegiatan memancing yang hampir rutin kami lakukan, kelas pelatihan mulai tidak terasa "kaku" lain. Di sela-sela kami mempraktikkan ketrampilan yang didapat, cerita-cerita tentang memancing dan pengalaman-pengalaman bersama itu sanggup lebih mewarnai perbincangan di antara kami saat kelas berjalan.
Sebenarnya, kelas pelatihan bukanlah ruangan kelas yang “ideal” pada umumnya. Terpal berwarna coklat yang dibentangkan memang sudah cukup melindungi kami dari gerimis hujan yang terkadang datang kala udara terasa sangat panas. Namun, di kala hanya panas, maka panas akan semakin menjadi-jadi menembus terpal berwarna coklat itu. Syukur, cerita tentang kebersamaan kami itu menjadi angin segar di saat panas.
Minggu terakhir. “Pak guru..kami boleh memohon ijin untuk anak-anak di kelas bisa libur besok?” kali ini bapak RT yang menyambangi saya ke rumah saat ayam baru selesai berkokok. Jam 6 pagi.
“Besok, mata air kami mau dibersihkan, karena mau dipasang pipa air. Jadi pemuda-pemuda di kelas pak guru bisa membantu” tambah pak RT. “Berapa hari pak?” tanya saya. “Cuma setengah hari, pak” kata bapak RT. “Baik ..pak” sahut saya yang masih yakin materi kelas masih bisa terkejar, apalagi kegiatan ini berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Hoiledo memang kampung yang saat itu masih kekurangan air bersih. Mereka memiliki mata air yang agak jauh dari perumahan penduduk. Sehingga ketika pemerintah berencana memasang pipa yang airnya mengalir dari mata air terdekat, kegiatan pembersihan mata air itu terasa penting dan mendesak.
Besoknya, saya pun turut kerja bakti bersama. Mata air di tengah hutan mamar itu mulai dibersihkan. Ceritanya, satu keluarga minimal disyaratkan harus mengirimkan satu orang untuk turut membersihkan. Jika tidak, maka mereka harus merelakan buah dari pohon kelapa mereka diambil. Cara yang cukup berhasil untuk menyalakan kembali semangat gotong royong yang semakin memudar. “Makasih..pak guru, sudah ikut berpartisipasi” kata pak RT saat kami berjalan pulang bersama dari mata air. “Bapak sudah menjadi bagian kami” kata seorang bapak yang lain, tersenyum. “Ah…daripada di rumah saja pak..saya kesepian” jawab saya sambil bercanda.
Saya tentunya yang paling bahagia. Bukan karena bisa lekas pulang, tetapi turut mendapatkan kebahagian akibat kehangatan dari mereka. Kehangatan yang sulit dilupakan dan digantikan oleh hal lain.
Waktunya untuk pulang. Mereka bersikeras mengantar. Memakai mobil pick Up, kami beramai-ramai pergi ke pelabuhan Pantai Baru, tempat kapal Ferry bersandar. Jabat tangan antar kami mengantar saya masuk ke dalam ferry. “Selamat tinggal Hoiledo…”kata saya dalam hati ketika Ferry mulai meninggalkan Pelabuhan.
“Hallo…kaka Lexy. Apa kabar?” suara saya lewat hand phone menyapa mereka, sesudah sebulan pulang. “baik pak…wah ada siswa yang sudah buka usaha mebel pak” kabar Lexy. “wah..hebat,…lalu mancing..masih?” tanya saya lagi. “Masih..pak, kapan bapak datang ke Rote lagi?” tanya Lexy…
“Hmm…tunggu sajalah..” jawab saya dengan tertawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H