Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kebingungan Global dalam Transisi Energi

16 April 2024   23:18 Diperbarui: 17 April 2024   11:27 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peraga-3: Ambiguitas Transisi Energi - Our World in Data

Perubahan Iklim dan Kenaikan Suhu

Realitas Perubahan Iklim yang erat dikaitkan dengan fenomena El Nino dan La Nina serta kenaikan suhu global menjadi isu yang mendominasi kehidupan manusia pada Milenium XXI. Pasca Konvensi Paris 2015 tentang Perubahan Cuaca yang menghasilkan kesepakatan global mencakup langkah-langkah bersama demi mengendalikan kenaikan suhu global. 

Isu kenaikan suhu global merupakan diksi yang diusung Al Gore mantan Wakil Presiden US era Presiden Bill Clinton; yang mengangkat dampak emisi karbon global yang merupakan akibat dari peningkatan konsumsi energi fosil yang mencakup Coal, Fuel, Gas. 

Berdasarkan konvensi Paris 2015, para pemimpin global bersepakat untuk mengupayakan perlunya membatasi pemanasan global hingga 1,5°C pada akhir abad ini. 

Salah satu yang dipandang sebagai biang kerok adalah penggunaan atau konsumsi energi fosil sehingga perlu pengganti agar dapat mengurani dampak kenaikan suhu.

Tantangan ini sangat tidak mudah dilakukan karena ceruk atau share perdagangan global untuk energi fosil mencapai 21% (2023) - lihat pada Peraga-1

Peraga-1: Share fosil pada Global Trade - World Trade Statistics
Peraga-1: Share fosil pada Global Trade - World Trade Statistics

Transisi Energi: Pasokan dan Substitusi

Merujuk pada sumber energi baurannya secara global dapat dilihat pada Peraga-2 berikut ini dengan lini masa pada abad XXI.

Peraga-2: Sumber Energi Global - Our World in Data
Peraga-2: Sumber Energi Global - Our World in Data

Mengawali milenium XXI ceruk/share energi fosil yang terdiri dari batu bara, minyak, dan gas alam besarnya 85,55% konstan pada 2010 tetapi naik pada 2015 kemudian kembali turun pada 2022 dengan ceruk 85,55%. 

Jika 2015 dianggap sebagai titik awal maka selamat sekitar 7 tahun terjadi penurunan ceruk energi fosil sekitar 3,5% dan jika berlangsung konstan maka untuk mengeliminasinya butuh waktu (85,55/3,55)--7 tahun atau sekitar 171 tahun atau pada menjelang penghujung abad depan XXII.

Sementara mengeliminasi energi fosil membutuhkan substitusi atau pengganti sumber energi yang dikenal sebagai Energi Terbarukan atau Renewable energi. 

Pada masa 2015-2022 terjadi kenaikan ceruk Energi Terbarukan alias non fosil sebesar 3,5%. Dengan demikian untuk peningkatan 85% dari 14.45% akan butuh (85/3,5)--7 tahun atau sama dengan 171 tahun.

Substitusi energi fosil menuju energi terbarukan harus dapat menyediakan energi yang terjangkau (affordable), berketahanan dalam pemahaman penyediaan atau supply dan masif, serta berkelanjutan dengan bingkai ESG alias lingkungan, sosial ekonomi, tata kelola. 

Dalam artikel terdahulu: Kiat Kemitraan dalam Hadapi Tantangan Global: Pangan Energi Air telah diberikan alternatif dari Energi Terbarukan yang bukan hanya Energi Matahari atau Energi Bayu (Angin), tetapi eksploitasi pada energi laut. 

Sementara sejalan dengan inovasi yang berkembang pada energi, dapat juga dimanfaatkan energi panas bumi, tenaga air,biomasa, proses sampah hasilkan energi serta yang juga layak adalah energi nuklir. 

Tantangan pada pembangunan energi solar dan angin terletak pada pada penggunaan lahan; sebagai gambaran untuk energi solar diperlukan ruang sebesar 1 hektare untuk hasilkan energi setara dengan 1 Mega Watt. Dapat diprakirakan untuk hasilkan 1 Giga Watt butuh 1000 hektare. Hal yang serupa dengan energi bayu yang juga terkendala dengan rerata kecepatan angin di darat Indonesia. 

Dengan kondisi tersebut maka layak untuk pertimbangkan penggunaan lautan untuk pengembangan energi solar dan bayu yang dikombinasikan dengan energi dengan pembangkit gelombang laut. 

Masalah substitusi tidak semata pada penyediaan energi terbarukan beserta beberapa pilihan lainnya. Tetapi yang lebih terdampak adalah negara yang mengandalkan penerimaannya pada perdagangan energi fosil. 

Dalam perdagangan global,dengan pemahaman ekspor(penjualan) dan impor (pembelian) maka penurunan ekspor sebesar 5% akan berdampak pada penurunan impor dengan nilai yang sama sehingga secara agregat perdagangan global akan mengalami penurunan 10%. 

Dapat dibayangkan jika ceruk 21% dari energi fosil dieliminasi. Bagaimana menggantikan pendapatan negara pengekspor seperti di Amerika Selatan/Latin, Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika yang pasti mengalami kesulitan mencari sumber pendapatan lain dan berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi yang akan berimplikasi pada keresahan sosial. Transisi energi bukan semata berupaya mensubstitusi energi fosil tetapi perlu secara utuh mengkaji implikasi dan dampak yang timbul.

Ambiguitas Dalam Melangkah

Peraga-3 berikut ini memberikan gambaran ceruk sumber energi.

Peraga-3: Ambiguitas Transisi Energi - Our World in Data
Peraga-3: Ambiguitas Transisi Energi - Our World in Data

Dari Peraga-3 dapat dilihat bahwa hanya Denmark dan Jerman yang ceruk energi non fosil sudah mencapai lebih dari 20% sedangkan negara lain yang tergolong negara besar belum mencapai 20%; Indonesia bahkan baru capai sekitar 10%. 

Jika 2060 dijadikan target untuk mengeliminasi energi fosil, apakah akan sanggup menggantikan pembangkit yang ada dengan sumber energi baru/terbarukan dalam sisa waktu tiga setengah dekade dan memperhatikan pertumbuhan kebutuhannya. Sesuai dengan strategi dan pengembangan perekonomian tentu tidak energi saja yang butuh tetapi berbagai fasilitas atau infrastruktur demi penyelenggaraan pelayanan publik. 

Dengan kemampuan fiskal tentu menjadi tantangan besar bagi setiap negara untuk mengatur investasi dan belanjanya.

Jika eliminasi atau substitusi pembangkit energi fosil dengan energi non fosil tidak terlaksana berarti risiko dan ancaman peningkatan suhu global menjadi realitas yang tak dapat dihindari; atau ada cara lain dalam menghadapi fenomena perubahan iklim?

Biang Kerok Emisi Karbon dan Perubahan Iklim

Dalam publikasi World Economic Forum tentang Future of the Environment dengan topik : Cutting global carbon emissions: where do cities stand? ringkasannya pada Peraga-4 di bawah ini.

Peraga-3: Cities Carbon Emission Contribution - World Economic Forum
Peraga-3: Cities Carbon Emission Contribution - World Economic Forum

Publikasi WEF (World Economic Forum) menunjukan kawasan perkotaan berkontribusi 70% terhadap emisi CO2. Secara agregat, luas kawasan perkotaan hanya sekitar 4% dari luas ruang dunia tetapi dihuni hampir 2/3 dari penduduk (proyeksi 2035). 

Sejalan dengan gelombang urbanisasi, kawasan perkotaan akan menjadi semakin padat dan ruang terbuka akan semakin berkurang yang berimplikasi pada serapan panas akan makin menurun dengan bertambahnya bangunan sehingga akan meningkatkan suhu pada kawasan perkotaan. 

Demikian juga mobilitas masyarakat yang terus meningkat dengan pola random atau acak akan meningkatkan entropi atau derajat keacakan yang berimplikasi pada peningkatan suhu (ingat Brownian Motion Phenomena).

Dengan gambaran sederhana di atas maka penanggulangannya harus diutamakan pada kawasan perkotaan yang terus bertambah bebannya sejalan dengan gelombang urbanisasi. Upaya dan partisipasi penduduk menjadi faktor kunci khususnya pada upaya yang berwawasan lingkungan seperti ruang terbuka dan mengutamakan agar proses serapan panas berlangsung dengan keberadaan vegetatif atau tumbuhan hijau. Tata kelola ruang pada kawasan perkotaan perlu secara disiplin memperhatikan aspek lingkungan sehingga dapat mereduksi dampak kenaikan suhu.

Langkah ke Depan

Penanggulangan masalah perubahan iklim dengan implikasi kenaikan suhu tidak dapat semata mengandalkan langkah pemerintah dengan berbagai jargon energi baru dan pengurangan karbon emisi. 

Sudah dijelaskan bahwa eliminasi energi fosil akan berdampak besar pada negara pengekspor yang selanjutnya berimplikasi pada penduduknya serta berdampak pada perdagangan global dengan implikasi depresi ekonomi (ingat saat Pandemi 2020 yang berdampak pada penurunan nilai perdaganan global hingga 10% yang berdampak pada depresi perekonomian global). Green energi merupakan barang yang tidak murah dan menghadirkannya dalam jumlah yang besar dan masif membutuhkan biaya dan dana yang besar; sementara secara global masalah fiskal menjadi tekanan pada hampir semua negara. 

Tidak mungkin menyusun rencana beserta tindakan penanggulangan dampak perubahan iklim dengan keterbatasan anggaran atau fiskal pemerintah sehingga inisiatif dan partisipasi publik selayaknya menjadi arus utama untuk penanggulangan. Tidak semata dengan retorika atau himbauan tetapi merupakan gerakan utama demi kemaslahatan bersama. Semoga!

***

Arnold Mamesah - 16 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun