Mengawali milenium XXI ceruk/share energi fosil yang terdiri dari batu bara, minyak, dan gas alam besarnya 85,55% konstan pada 2010 tetapi naik pada 2015 kemudian kembali turun pada 2022 dengan ceruk 85,55%.Â
Jika 2015 dianggap sebagai titik awal maka selamat sekitar 7 tahun terjadi penurunan ceruk energi fosil sekitar 3,5% dan jika berlangsung konstan maka untuk mengeliminasinya butuh waktu (85,55/3,55)--7 tahun atau sekitar 171 tahun atau pada menjelang penghujung abad depan XXII.
Sementara mengeliminasi energi fosil membutuhkan substitusi atau pengganti sumber energi yang dikenal sebagai Energi Terbarukan atau Renewable energi.Â
Pada masa 2015-2022 terjadi kenaikan ceruk Energi Terbarukan alias non fosil sebesar 3,5%. Dengan demikian untuk peningkatan 85% dari 14.45% akan butuh (85/3,5)--7 tahun atau sama dengan 171 tahun.
Substitusi energi fosil menuju energi terbarukan harus dapat menyediakan energi yang terjangkau (affordable), berketahanan dalam pemahaman penyediaan atau supply dan masif, serta berkelanjutan dengan bingkai ESG alias lingkungan, sosial ekonomi, tata kelola.Â
Dalam artikel terdahulu: Kiat Kemitraan dalam Hadapi Tantangan Global: Pangan Energi Air telah diberikan alternatif dari Energi Terbarukan yang bukan hanya Energi Matahari atau Energi Bayu (Angin), tetapi eksploitasi pada energi laut.Â
Sementara sejalan dengan inovasi yang berkembang pada energi, dapat juga dimanfaatkan energi panas bumi, tenaga air,biomasa, proses sampah hasilkan energi serta yang juga layak adalah energi nuklir.Â
Tantangan pada pembangunan energi solar dan angin terletak pada pada penggunaan lahan; sebagai gambaran untuk energi solar diperlukan ruang sebesar 1 hektare untuk hasilkan energi setara dengan 1 Mega Watt. Dapat diprakirakan untuk hasilkan 1 Giga Watt butuh 1000 hektare. Hal yang serupa dengan energi bayu yang juga terkendala dengan rerata kecepatan angin di darat Indonesia.Â
Dengan kondisi tersebut maka layak untuk pertimbangkan penggunaan lautan untuk pengembangan energi solar dan bayu yang dikombinasikan dengan energi dengan pembangkit gelombang laut.Â
Masalah substitusi tidak semata pada penyediaan energi terbarukan beserta beberapa pilihan lainnya. Tetapi yang lebih terdampak adalah negara yang mengandalkan penerimaannya pada perdagangan energi fosil.Â
Dalam perdagangan global,dengan pemahaman ekspor(penjualan) dan impor (pembelian) maka penurunan ekspor sebesar 5% akan berdampak pada penurunan impor dengan nilai yang sama sehingga secara agregat perdagangan global akan mengalami penurunan 10%.Â