Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Badan Layanan Umum Percepatan Penyelenggaraan Perumahan - Tipping Point dan New Wave Rumah Umum Indonesia Pasca UU Cipta Kerja

21 Oktober 2020   10:05 Diperbarui: 21 Oktober 2020   10:15 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UU Cipta Kerja dan Nuansa Reformasi

Berbagai komentar dan tanggapan bernada pro-kontra muncul seiring dengan kehadiran UU Cipta Kerja, salah satunya dari World Bank seperti pada kutipan ini "Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan upaya reformasi besar-besaran untuk menjadikan Indonesia lebih berdaya saing dan mendukung cita-cita jangka panjang bangsa untuk menjadi masyarakat yang sejahtera. Ini dapat mendukung pemulihan ekonomi yang tangguh dan pertumbuhan jangka panjang di Indonesia. Dengan menghapus pembatasan yang berat pada investasi dan menandakan bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis, ini dapat membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja dan membantu Indonesia memerangi kemiskinan. Pelaksanaan Undang-Undang secara konsisten akan menjadi penting dan akan membutuhkan peraturan pelaksana yang kuat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan serta upaya bersama oleh Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya. Bank Dunia berkomitmen untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam reformasi ini, menuju pemulihan ekonomi dan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia."

Komentar World Bank mungkin mewakili masyarakat internasional dengan beberapa kata kunci seperti reformasi, daya saing, rentang waktu jangka panjang dan investasi.

Senada dengan semangat reformasi, muncul ekspresi dan ungkapan debirokratisasi, deregulasi, debottlenecking serta breakthrough dalam sesi Focus Group Discussion yang membahas seputar penyiapan Rancangan Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan sektor Perumahan khususnya BAB IX A : Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan yang merupakan bagian dari UU Cipta Kerja.

Ekspresi dan ungkapan yang kental dengan semangat reformasi tersebut menggambarkan pengalaman yang dialami berbagai pemangku kepentingan dalam menjalankan program yang berkaitan dengan penyediaan perumahan khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan mendukung pelaksanaan Program Sejuta Rumah yang dicanangkan Presiden Jokowi.

Sebutan "Tipping Point", layak disematkan pada UU Cipta Kerja. Istilah Tippping Point tersebut pertama kali digunakan Malcolm Gladwell yang maknanya : How Little Things Can Make a Big Difference atau jika diterjemahkan secara sederhana sebagai Langkah Kecil Menuju Perubahan Besar Kelak. Jika mengadopsi nuansa Perang Dunia Kedua mirip dengan ungkapan : Turning Point atau Titik Balik seperti yang digunakan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pasca Pertempuran Inggris (Battle of Britain) konflik udara antara angkatan udara Inggris dan Jerman di langit di atas Inggris antara Juli dan Oktober 1940. Itu adalah titik balik yang menentukan dalam PD II.

Bagaimana mendudukkan Tipping Point tersebut pada UU Cipta Kerja dalam konteks Penyelenggaraan Perumahan di Indonesia mungkin dapat ditangkap dari berbagai komentar, tanggapan, serta harapan yang ditujukan terhadap kehadiran Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) terutama dalam hal rumah umum bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Mengutip dari UU No. 1 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman BAB I Pasal 1 ayat 10 : Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Agar dapat memenuhi harapan terhadap MBR tentu tidak semata melihatnya pada lingkup fungsi, tugas, dan tanggung jawab yang diemban tetapi mempersiapkanya sebagai organisasi yang berkemampuan, berdaya guna, serta berhasil guna.

BP3 dan Pelayanan Publik

Tujuan utama pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan dapat dilihat pada pasal UU Cipta Kerja 117A ayat 1 yang kutipannya : Untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat membentuk badan percepatan penyelenggaraan perumahan.

Diksi penyediaan rumah menyatu dengan tempat tinggal yang merupakan salah satu dari ruang lingkup pelayanan publik seperti yang tercantum pada Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Asas yang melekat dengan Pelayanan Publik antara lain :

  • Kepentingan umum
  • Kepastian hukum;
  • Kesamaan hak;
  • Keseimbangan hak dan kewajiban;
  • Keprofesionalan;
  • Partisipatif;
  • Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
  • Keterbukaan;
  • Akuntabilitas;
  • Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
  • Ketepatan waktu; dan
  • Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan

Dalam pemahaman penyelenggaraan perumahan sebagai pelayanan barang publik dan jasa publik, asas di atas memberikan gambaran Non exclusive & Non rivalry.

Dengan demikian bentuk dan fungsi serta kedudukan BP3 akan sangat berpengaruh dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.

Berdasarkan informasi dari pihak yang ikut dalam proses legislasi penyusunan UU Cipta Kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat, diberikan 3 (tiga) pilihan yaitu

  • Lembaga Non Struktural adalah lembaga yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, serta dibiayai oleh anggaran negara.
  • Perusahaan Umum adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
  • Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Sementara dalam proses penyiapan, belum ada kesepakatan terhadap bentuk yang akan dipilih tetapi layak memperhatikan masukan para pemangku kepentingan dengan struktur yang mampu mengadopsi serta beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis serta mampu melakukan transformasi demi peningkatan hasil kerja penyelenggaran.

Namun dengan pertimbangan mengupayakan dan mengutamakan aspek layanan, maka pilihan yang sangat sesuai adalah Badan Layanan Umum seperti tersurat dalam Undang-Undang 1 Tahun 2004.

Pemahamannya seperti dikutip dari ketentuan umum pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 23 : Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya sesuai kutipan Pasal 28 ayat 1 : Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian makna percepatan sebagaimana yang tersurat pada UU Cipta Kerja pada pasal 117A selaras dengan peningkatan pelayanan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan fenomena yang dihadapi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) pada kawasan perkotaan yang mengalami perlakuan diskriminasi, marginalisasi, dan kerentanan sehingga harus bertempat tinggal di permukiman kumuh. Berbagai upaya yang telah dilakukan dengan berbagai bentuk program pada masa sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman serta membebaskan kawasan kumuh masih belum berhasil untuk membebaskan MBR. Meniadakan defisit perumahan atau backlog dan rumah tidak layak huni (Rutilahu) ibarat upaya sia-sia.

Kerangka Organisasi dan Rantai Nilai

Dengan merujuk pada Best Practices dalam Strategic Management, untuk merancang organisasi BP3, layak dipertimbangkan penggunaan Model 7S McKinsey dengan memperhatikan 7 elemen utama yaitu :

  • Strategi yang merupakan siasat atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
  • Struktur yang menata peran dan tanggung jawab
  • Sistem yang mendukung proses dan prosedur dalam organisasi
  • Shared Value - nilai bersama yang menjadi penyatu dalam organisasi
  • Style -- gaya dalam pengelolaan organisasi,
  • Staff -- sumber daya manusia
  • Skill & Knowledge -- keterampilan dan kemampuan yang merupakan salah satu kapital dalam pengembangan organisasiagar secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan

Gambaran 7S seperti berikut ini.

7S McKinsey
7S McKinsey
Sementara sesuai dengan lingkup pelayanan publik, operasionalisasi BP3 harus mampu memberikan nilai selaras dengan gambaran rantai nilai , model yang pertama kali diberikan Guru Strategic Management Michael Porter seperti berikut ini :

Rantai Nilai BP3 - Arnold Mamesah MA
Rantai Nilai BP3 - Arnold Mamesah MA
Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam organisasi, rincian peran dan tanggung jawab (role & responsibility) perlu dideskripsikan dengan cermat agar sistem dan tata kerja berlangsung mulus dan memberikan nilai tambah yang terukur.

 

Perwujudan Visi dan Misi serta Grand Design 

Pesan penting terhadap kehadiran BP3 adalah : tidak menimbulkan tumpang tindih dalam lingkup tanggung jawab dan kewajiban serta tidak berdampak pada keberadaan organisasi lain yang sudah ada seperti Perum Perumnas dan Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR namun  berperan serta berkontribusi pada penyediaan perumahan. BP3 perlu menghadirkan sinergitas yang kokoh dalam pelayanan publik dengan peningkatan output secara terukur -- sistematis -- dan masif dengan pemahaman sebagaimana diberikan berikut ini.

  • Terukur dalam hal penyelenggaraan perumahan perlu dipandang dari sisi  penyediaan dan pemenuhan permintaan konsumen secara periodik (tahunan) berdasaran target pencapaian.
  • Sistematis merupakan pendekatan dan rangkaian proses yang berkaitan dan mengalir dengan memperhatikan sinergitas faktor dan aspek pada penyelenggaraan
  • Masif berhubungan dengan makna percepatan serta memperhatikan status backlog atau defisit perumahan sehingga memerlukan jumlah besar dalam pemenuhannya dan tersebar pada berbagai wilayah Indonesia.

Sebagai gambaran backlog atau defisit perumahan diberikan pada grafik berikut ini.

Defisit Perumahan - Arnold Mamesah MA
Defisit Perumahan - Arnold Mamesah MA
Catatan. RTLH : Rumah Tidak Layak Huni - RLH : Rumah Layak Huni

Posisi defisit perumahan pada 2020 merupakan baseline dalam menyusun target misalnya menuju zero backlog (tanpa defisit) pada 2030. Defisit tersebut mencakup juga pada program penanganan Rumah Tidak Layak Huni dan memperhatikan kemampuan penyediaan serta pertumbuhan permintaan selaras dengan pertumbuhan demografi serta urbanisasi.

Mencermati besaran output yang dibutuhkan dan kondisi keterbatasan fiskal, maka diperlukan beberapa pendekatan dan strategi seperti :

  • Creative Financing untuk mengatasi kendala fiskal dengan berbagai skema pembiayaan termasuk membuka peluang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
  • Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dengan mengutamakan Prakarsa Badan Usaha untuk mempercepat penyediaan dan berbagi risiko atau dengan Kerjasama Penyediaan Infrastruktur. Model yang serupa dapat diperkaya dengan kehadiran Lembaga Investasi Pemerintah dan berbagai skema dan pola kerjasama yang akan dihadirkan dan dimanfaatkan dalam penyelenggaraan perumahan.
  • Pemanfaatan lahan BMN (Barang Milik Negara) dan BMD (Barang Milik Daerah) yang berada dalam kondisi "idle" atau tidak terpakai

Dalam kerangka pemikiran besar, strategi pencapaian Visi dan Misi perlu diselaraskan dengan Grand Design Penyelenggaraan Perumahan Indonesia dengan pendekatan seperti pada gambar berikut ini.

Grand Design Perumahan Indonesia - Arnold Mamesah MA
Grand Design Perumahan Indonesia - Arnold Mamesah MA
Penyediaan perumahan perlu pendekatan sistematis seperti misalnya :
  • Proyek pembangunan yang dilakukan pada berbagai wilayah dengan jumlah terbatas atau kecil sesuai dengan ketersediaan lahan dan permintaan
  • Pembangunan yang merupakan inisiatif dan partisipasi komunitas dengan memanfaatkan aset yang dimiliki termasuk lahan wakaf
  • Pembangunan Permukiman Berskala Besar yang dipadukan dengan pemahaman non-segregasi dalam bentuk Hunian Berimbang
  • Model pembangunan perumahan dan permukiman yang dikaitkan dengan mobilitas dan transportasi atau dikenal sebagai Transit Oriented Development
  • Pembangunan yang berbasis dengan skema Kerjasama atau Kemitraan dengan atau tanpa pemenfaatan BMN/BMD atau optimalisasi lahan
  • Pembangunan yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan perkotaan serta memperhatikan optimalisasi lahan dan ekonomi ruang (spatial economic) selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan #11 : Membangun kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama dan berkelanjutan

Bingkai Pembentukan dan Tahapan BP3

Sesuai dengan amanat UU Cipta Kerja pada BAB IX A, kehadiran BP3 yang erat berkaitan dengan pelayanan publik; maka rancangan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan landasan yang kokoh dan relevan dapat operasionalisasi kelak.

Narasi Menimbang dan Mengingat pada untuk rancangan Peraturan Presiden pembentukan BP3 diberikan pada gambar berikut ini.

Mengingat dan Menimbang BP3 - Arnold Mamesah MA
Mengingat dan Menimbang BP3 - Arnold Mamesah MA
Pemerian pada pasal dan ayat Peraturan Presiden yang menjadi basis dan landasan pembentukan organisasi BP3 dengan memperhatikan Framework S7 dan Rantai Nilai seperti diberikan di atas.

Untuk pembangunan dan pemantapan organisasi BP3 perlu melewati tahapan seperti pada gambaran berikut ini.

Kurva Pertumbuhan Organisasi BP3 - Arnold Mamesah MA
Kurva Pertumbuhan Organisasi BP3 - Arnold Mamesah MA
Berdasarkan gambaran di atas maka BP3 akan perlu melewati tahapan
  • Inisiasi -- Lahir -- Belajar. Dalam tahapan ini perencanaan dan pembangunan dan pemantapan "Shared Value", Strategy, System dalam organisasi menjadi faktor penting selain juga berinvetasi dalam Human Capital. Pada tahapan ini BP3 masih berbentuk Satuan Kerja dan disiapkan menuju Badan Layanan Umum
  • Tumbuh. Tahapan ini merupakan masa awal BP3 mampu memberikan delivery atau output perumahan bagi MBR
  • Maturitas. Tahapan ini BP3 mampu mengembangkan kerjasama dan melakukan berbagai inovasi berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan
  • Gejolak dan Krisis. Tahapan yang umum terjadi pada suatu organisasi akibat faktor eksternal dan juga faktor internal. Kemampuan dan kepemimpinan yang piawai akan memampukan BP3 melalui tahapan ini
  • Bertahan dan Bangkit. Tahapan lanjutan pasca penanganan tahapan Krisis akan memampukan BP3 Bertahan dan melanjutkan dan meningkatkan layanan.

Pada akhirnya kunci utama pada Perencanaan terhadap BP3. Kegagalan Perencanaan yang matang dan tergesa-gesa dalam menghadirkan BP3 ibarat mematangkan perencanaan untuk kegagalan BP3.

Semoga bermanfaat dalam pengayaan wawasan

21 Oktober 2020 - HBD OBor

S. Arnold Mamesah MA

The HUD Institute & Masyarakat Infrastruktur Indonesia

Catatan : Artikel ini merupakan opini pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun