Divestasi, Merjer & Akuisisi, Investasi
Divestasi (Divestment atau Divestiture) korporasi atau badan usaha merupakan suatu upaya atau proses pelepasan kepemilikan (asset) dengan alasan atau pertimbangan finansial, sosial, atau politik. Melalui divestasi, kepemilikan korporasi akan dibagi dengan proporsi tertentu sehingga berdampak pada peran dan tanggung jawab serta pengendalian usaha. Divestasi dapat terjadi sebagai bagian dari strategi korporasi demi optimasi hasil atau untuk perluasan usaha; tetapi pada sisi lain divestasi dapat dilakukan sebagai strategi untuk menarik diri atau keluar dari suatu wilayah atau sektor industri akibat kondisi lingkungan, sosial atau politik yang tidak dirasakan tidak kondusif dan tidak mendukung kegiatan usaha.
Penggabungan entitas usaha (Merjer) dan Pengambilalihan entitas usaha (Akuisisi) merupakan bagian dari strategi dan aksi yang melibatkan dua atau lebih entitas (korporasi) dengan berbagai alasan; dan pertimbangan serta tujuan jangka panjang seperti peningkatan capaian pertumbuhan, bangun dan pemantapan sinergi antar entitas. Atau dapat juga untuk tujuan yang sangat spesifik sesuai keinginan pemilik atau pemegang saham. Penggabungan dapat juga berlangsung untuk keperluan tertentu tanpa harus merubah entitas dan identitas dengan membentuk konsorsium.
Pada setiap sektor industri aksi investasi dari pandangan perekonomian dan usaha merupakan suatu keharusan melalui penambahan modal demi peningkatan pertumbuhan dan keberlanjutan serta kelanggengan usaha. Dalam setiap keputusan investasi selalu akan berkaitan dengan resiko; sehingga perhitungan matang sangat diperlukan serta bukan sekedar spekulasi bak fatamorgana yang menjanjikan imbalan besar tetapi mengabaikan resiko yang kembali akan berdampak pada entitas usaha.
Walaupun hanya sepintas tetapi makna divestasi, penggabungan usaha dengan varian konsorsium dan akuisisi, serta investasi penting diketahui khususnya pada sektor yang berkaitan dengan ekstraktif sumber daya alam (natural resources).
Sinetron Sumber Daya Alam
Keberadaan sumber daya alam (SDA) pada suatu wilayah selalu dianggap sebagai berkah yang dapat menjadi sumber serta motor penggerak perekonomian sehingga kelak akan meningkatkan kesejahteraan; tetapi dapat juga menjadi biang kerok konflik dan perselisihan atau sering disebut sebagai kutukan SDA (Resource Curse); demikianlah Trilema SDA.
Tambang tembaga di Papua, Kawasan Timur Indonesia, yang dikelola PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan contoh kehadiran SDA pada wilayah yang luas tetapi populasinya rendah atau bahkan langka. Secara sederhana Pareto (sebaran) SDA Indonesia dapat digambarkan bahwa 70%-80% kekayaan berada pada wilayah yang dihuni kurang dari 20% penduduk Indonesia. Tetapi kemudian manfaat SDA tersebut selayaknya menjadi pendorong pertumbuhan perekonomian baik secara langsung pada daerah sekitarnya ataupun tidak secara langsung yang salah satunya melalui gambaran iklim usaha di Indonesia.
Dalam perjalanannya, masalah pengelolaan tambang tembaga PTFI ibarat sinetron atau telenovela atau bahkan opera sabun. Kisahnya hadir ke permukaan bak serial berkepanjangan tanpa "happy ending" atau "sadness" alias kesedihan; tetapi selalu dengan atribut samar TBC alias "To be continued" (akan berlanjut). Sebagai tontonan televisi, mungkin saja kejadian demikan berlangsung. Tetapi dalam perekonomian dan dunia usaha diperlukan ketegasan yang memberikan kepastian demi keberlanjutan; apalagi jika berkaitan dengan suatu penanaman modal atau investasi pada pertambangan dengan rentang waktu panjang.
Sementara jika diperhatikan kondisi perekonomian global, harga komoditas logam mengalami tekanan sejalan dengan tekanan pertumbuhan ekonomi globa seperti digambarkan pada Peraga-1 di bawah ini.
Peraga-1 : Indeks Harga Logam dan Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto atau GDP)
Dari Peraga-1, digambarkan tren turung harga komoditas logam termasuk tembaga dan pertumbuhan perekonomian global. Kondisi penurunan harga ini merupakan fenomena Spiral Deflasi Komoditas global yang diprakirakan akan berlangsung panjang (Super Cycles) serta berdampak pada perekonomian yang mengandalkan penerimaan dari komoditas serta juga respon dunia usaha atau korporasi yang mengelola pertambangan.
Dalam menghadapi tekanan harga komoditas ini, kecenderungan strategi dan aksi yang dilakukan top korporasi pertambangan global (Top Ten: Mining Companies; Freeport Mc. Moran - induk PTFI berada pada peringkat-5) antara lain : (1) Fokus dan ketat dalam hal finansial termasuk melakukan berbagai upaya efisiensi pada biaya operasi; (2) Mengupayakan berbagai inovasi untuk mendorong pertumbuhan usaha; (3) Melakukan investasi dengan wawasan jangka panjang; dan (4) Ketat dan sangat berhati-hati dalam keputusan serta aksi korporasi untuk "Merger & Acquisition", lebih mengutamakan kerjasama atau kolaborasi dengan membentuk "Strategic Alliances" (lihat : Tracking the trends 2017 - Deloitte Report).
Peraga-2 : Top mining companies worldwide based on market capitalization in 2017 (in billion U.S. dollars)
Lingkar Kemauan, Kemampuan, dan Kemahfuman
Tiga kata masing-masing "Mau", "Mampu", dan "Mahfum" akan menjadi bingkai dalam memandang "sinetron SDA PTFI". "Divestasi 51% saham Freeport Indonesia memang maunya Presiden Jokowi", demikian kutipan dari materi yang disampaikan DR. Ir. Fadel Muhammad, Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yang membidangi masalah energi dan pertambangan.
Seorang begawan ekonomi yang merupakan salah seorang arsitektur reformasi perekonomian Indonesia pasca Krismon 1998, Prof. (Emeritus) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Ph.D, memberikan pesan agar permasalahan PTFI diselesaikan dengan bijak dan rasional serta tidak sarat retorika.
Dari pandangan penulis, kasus PTFI adalah beranda dan "etalase" bagi Penanaman Modal Asing (PMA atau Foreign Direct Investment). Jika memang divestasi 51% saham yang disyaratkan kepada PTFI merupakan ke-mau-an Presiden Jokowi, maka perlu untuk mengingatkan beliau dengan merujuk pada "benchmarking" terhadap korporasi pertambangan global seperti yang disampaikan di atas. Ke-mampu-an finansial yang dimiliki "The Three Musketeers" (BUMN Terbuka : PT. Aneka Tambang Tbk., PT. Bukit Asam Tbk., PT. Timah Tbk.) yang dipimpin PT. Inalum (non Tbk.) sebaiknya bukan untuk melakukan akuisisi terhadap divestasi saham PTFI. Akan lebih cerdas jika BUMN tambang tesebut masing-masing mengembangkan aliansi strategis dengan korporasi yang sesuai dengan kompetensi dan kapasitas yang dimiliki sehingga akan memperluas industri yang bernilai tambah serta membuka banyak lapangan kerja.
Saat mempersiapkan tulisan ini, teringat pesan Prof. Dorodjatun agar ber-imajinasi yang lantas memunculkan ide dari mahzab Sharing Economy yang mengutamakan Kolaborasi, Integrasi, dan Inklusi. Mengkolaborasikan pelaku kunci pertambangan tembaga di Indonesia seperti PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT - sebelumnya Newmont Nusa Tenggara ) untuk melakukan pengolahan (smelting) pada tempat yang sama, berintegrasi dengan industri hilir serta melibatkan banyak pihak (inklusi) sehingga secara agregasi nilai tambah lebih tinggi, merupakan buah permenungan dan imajinasi.
Pada suatu kesempatan bercakap-cakap dengan kerabat, muncul guyonan : "Freeport Indonesia itu seperti penumpang yang berada dalam perjalanan panjang bis antar kota yang kursinya sangat tidak nyaman dan beberapa penumpang yang duduk di belakangnya riuh dengan "obrolan" serta menendang bagian belakang tempat duduknya". Apakah sang penumpang yang adalah PTFI, akan tetap sabar dan betah duduk hingga akhir perjalanan atau lantas berteriak kepada sang kondektur bis : "Pak kondektur, saya segera turun pada perhentian terdekat!"
Perlu ke-mahfum-an Presiden Jokowi dan "all the president men" dalam lingkar keputusan !
Arnold Mamesah - Awal November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H