Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Usai Episode-I Tax Amnesty

2 Oktober 2016   01:26 Diperbarui: 2 Oktober 2016   15:38 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Forex and Currency Index Performance Comparison Indonesia - China, Prepared by Arnold M

Usikan Akhir September

Sinetron "Tax Amnesty" terasa sangat menegangkan jelang berakhirnya episode I pada 30 September 2016 ditandai antrian wajib pajak yang memohon pengampunan. Pada waktu yang hampir bersamaan, muncul tiga indikasi yang mengusik perhatian. Indikasi pertama datang dari Gubernur Bank Indonesia tentang ancaman aliran Hot Money; yang kedua hasil kajian World Economic Forum (WEF) tentang Peringkat Daya Saing; sedangkan yang ketiga meningkatnya Pelunasan Pinjaman dan Stagnasi Kredit.

Namun ada hal lain yang tidak berulang seperti akhir September 2015 yaitu "ketidakhadiran" lonjakan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD), yang sempat mencapai IDR 14.800 untuk USD 1. Usai September langsung disambut dengan triwulan akhir 2016 saat diperlukan upaya maksimal mencapai tingkat pertumbuhan tahunan 5,1%.

Tiga Indikasi Yang Perlu Perhatian

Gubernur Bank Indonesia mengingatkan akan banyaknya aliran Hot Money masuk Indonesia; hingga September 2016 setara Rupiah (IDR) 151 Triliun. Indikasinya dapat dilihat pada peningkatan indeks harga saham gabungan pada bursa saham Indonesia dan juga penguatan (apresiasi) nilai tukar IDR. Peningkatan aliran dana “Hotmoney” ini tidak lepas dari paket stimulus (Assets Purchase Program) European Central Bank (ECB) dan Paket Stimulus Bank of Japan; serta faktor China sejalan dengan inklusi Renminbi (CNY) masuk dalam SDR (Lihat artikel : Internasionalisasi Renminbi : Kebanggaan Semu China) dan fenomena “Capital Flight” dari China (Lihat artikel : Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia).

Kaitan faktor China dengan perekonomian Indonesia dapat dilihat pada Peraga-1 : Forex Reserve & Currency Index (Rupiah IDR & Renminbi CNY).

Forex Reserve and Currency Index China - Indonesia, Prepared by Arnold M
Forex Reserve and Currency Index China - Indonesia, Prepared by Arnold M
Sejak awal 2015 dengan kondisi surplus pada neraca perdagangan, terjadi perubahan cadangan devisa China dari USD 3.813 Miliar (Januari 2015) menjadi USD 3.185 Miliar (Agustus 2016), turun USD 628 Miliar (16,5%); sementara Indonesia dari USD 107,81 Miliar naik menjadi USD 113,54 Miliar pada Agustus 2016 (5,3%). Sedangkan indeks mata uang (berdasarkan Real Effective Exchange Rate, Bank for International Settlement), dalam masa yang sama, trend indeks mata uang China Renminbi (CNY) turun sedangkan IDR naik.

Perbandingan nilai terakhir dan rerata masa Januari 2015 hingga Agustus 2016 pada cadangan devisa dan indeks nilai tukar diberikan pada Peraga-2 : Forex Reserve & Currency Index China - Indonesia.

Forex and Currency Index Performance Comparison Indonesia - China, Prepared by Arnold M
Forex and Currency Index Performance Comparison Indonesia - China, Prepared by Arnold M
Penurunan drastis cadangan devisa China (Forex Reserve) hingga hampur 8% mengindikasikan terjadi capital flight dan "intervensi" pada nilai tukar. Sementara peningkatan peningkatan cadangan devisa Indonesia sejalan dengan peningkatan aliran dana "Hot Money" yang rentan dengan sentimen serta spekulasi dan dapat dengan tiba-tiba keluar serta meninggalkan gejolak. Trend indeks IDR yang menguat hingga 2% dapat merupakan ancaman pada kinerja ekspor. Sementara penurunan indeks CNY akan mendorong ekspor produk China; atau peningkatan impor Indonesia yang akan menyebabkan defisit perdagangan Indonesia dengan China meningkat. Dampak peningkatan impor produk China pada barang konsumsi akan memberikan tekanan pada produk lokal (domestik).

Apakah akan terjadi gejolak akibat "exit"nya Hot Money ? Paket stimulus ECB dan Bank of Tokyo masih berlanjut dan belum ada tanda-tanda berakhir. Sementara suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) setelah ditunda kenaikannya pada pertengahan September 2016, mungkin saja naik pada Desember 2016. Tetapi kenaikan ini tidak akan menimbulkan gejolak seperti halnya kenaikan sebelumnya pada pertengahan Desember 2015. Dengan demikian, aliran masuk Hot Money masih akan berlangsung dan berdampak penguatan mata uang Rupiah.

Hasil kajian WEF (World Economic Forum) yang diterbitkan 29 September 2016, menunjukkan Peringkat Daya Saing (Competitiveness Index) Indonesia turun dari 37 menjadi 41. Sebelumnya perlu dipahami bahwa ada 12 Pilar indikator yang digunakan dalam pengukuran dan penyusunan peringkat. Pilar yang dimaksud antara lain : (1) Institusi, (2) Infrastruktur,(3) Lingkungan Ekonomi Makro, (4) Kesehatan dan Pendidikan Dasar, (5) PendidikanTinggi dan Pelatihan, (6) Efisiensi Pasar Barang, (7) Efisiensi Pasar TenagaKerja, (8) Pertumbuhan Pasar Keuangan, (9) Pembangunan Teknologi, (10) UkuranPasar, (11) Tingkat Kemajuan Bisnis, dan (12) Inovasi. 

Peringkat Daya Saing sering digunakan sebagai ukuran atau pesona dalam menarik penanaman modal asing (FDI : Foreign Direct Investment). Untuk memberikan gambaran diambil contoh 5 (lima) negara anggota G20 yaitu India, China, Indonesia, Turkey, Brazil dengan indikator PDB (Produk Domestik Bruto) Triwulanan seperti pada Peraga-3

Dari ukuran pertumbuhan triwulanan terakhir, India tertinggi (Triwulan-2 2016 naik 7,1% dibandingkan triwulan yang sama 2015, tren dua triwulan terakhir; turun); China (6,7%; turun), Indonesia (5,1%; naik), Turkey (3,1%; turun), Brazil (minus 3,8%; naik).

Dengan merujuk pada Peringkat Daya Saing, diberikan gambaran pengaruhnya pada Aliran Dana Foreign Direct Investment (FDI) pada Peraga-4.

Dari tabel Peraga-4, peringkat China tertinggi dan tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya tetapi aliran FDI turun; peringkat India naik dan aliran FDI naik. Sementara peringkat Brazil turun dan aliran FDI turun seperti juga Indonesia dan peringkat Turkey naik tetapi aliran FDI turun. Dengan indikasi demikian, peringkat Daya Saing bukan merupakan pertimbangan utama penentuan tujuan FDI, seperti halnya juga "Credit Rating". (Lihat artikel : Keliru Paham Seputar Rating dan Peringkat).

Mengapa Pelunasan Pinjaman dan Kredit Investasi yang Stagnan memerlukan perhatian ? Sebenarnya hal ini ancaman nyata bagi pertumbuhan ekonomi; terutama saat dunia usaha lebih mengutamakan "bayar utang" dan bukan berinvestasi. Tanpa peningkatan investasi pertumbuhan masa mendatang akan tertekan yang berdampak penurunan pendapatan dunia usaha, Penurunan pendapatan akan memberikan dampak tularan pada permintaan dan juga penerimaan pajak. 

Pelunasan pinjaman yang terjadi bersama dengan stagnasi kredit akan menurunkan pendapatan perbankan. Pendapatan dari bunga turun sementara pengeluaran tetap sehingga margin usaha turun. Dalam kondisi seperti ini, sulit berharap suku bunga kredit akan turun menjadi single digit; situasi ini membuat kredit investasi tidak menarik. Kondisi dunia usaha serta korporasi mengutamakan pelunasan pinjaman dan menghindari kredit serta mengupayakan penghematan demi tabungan (saving) dikenal sebagai fenomena Bencana Neraca (Balance Sheet Recession Problem).

Tebusan Tax Amnesty, Penerimaan Pajak, Peningkatan Belanja

Hingga akhir Episode I, dana tebusan Tax Amnesty yang dikumpulkan mencapai IDR 97,2 Triliun; dengan total harta yang dilaporkan, baik deklarasi maupun repatriasi mencapai IDR 3.540 Triliun. Masih ada Episode kedua hingga 31 Desember 2016 dan Episode terakhir 31 Maret 2017. Tetapi kemudian bagaimana memaknai pencapaian ini.

Hingga akhir Agustus 2016, penerimaan pajak hampir IDR 600 Triliun (IDR 596 Triliun), atau 44% target APBN-P 2016 sebesar IDR 1.318,9 Triliun. Dengan waktu 4 bulan hingga Desember 2016, di luar dana tebusan Tax Amnesty, penerimaan mencapai IDR 1.000 Triliun (kalkulasi sederhana 8 bulan penerimaan 600 T, sehingga 12 bulan menjadi (12/8 * 600T) ditambah usaha ekstra jelang akhir tahun menghasilkan 100 T). Uang tebusan TA hingga akhir 2016 mencapai 2/3 dari target IDR 165 T atau IDR 110 T; sehingga penerimaan pajak 2016 besarnya IDR 1.110 T atau 84% dari target IDR 1.318,9 T. Penerimaan pajak 2015 IDR 1.055 T, ada kenaikan IDR 55 T, sehingga penerimaan 2016 dibandingkan 2015 meningkat 5,2%; sementara pencapaian 2015 dibanding 2014 meningkat 7,15%, atau 2014 dibandingkan 2013 meningkat 6,92%. Artinya peningkatan 2016 lebih kecil dari peningkatan 2015 dan 2014.

Bagaimana memacu perekonomian Triwulan-4 2016 ? Satu-satunya melalui percepatan dan peningkatan belanja pemerintah bukan dengan pengetatan. Dana tebusan Tax Amnesty IDR 97,2 Triliun yang ditarik dari dunia usaha dan wajib pajak segera dibelanjakan agar perekonomian bergulir pesat dan menghindari penurunan permintaan. Ini dikenal sebagai "Paradox of Thrift" dan sesuai Generally Accepted Economic Principle.

 

Arnold Mamesah - 1 Oktober 2016

Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun